Wacana peggantian nama Kabupaten Kayong Utara, yang diinisiasi oleh panitia pemekaran dan DPRD Kayong Utara, mendapat sambutan baik dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Kayong Utara.
Dua minggu lalu, Tim Ahli Cagar Budaya bertemu dengan Ketua DPRD Kayong Utara, membahas mengenai wacana perubahan nama Kabupaten Kayong Utara. Sarnawi, Ketua DPRD Kayong Utara, mengaku bahwa dia bersama anggota DPRD lainnya, bertemu tokoh nasional OSO (Oesman Sapta Odang). Dalam pertemuan tersebut, mereka sempat membahas wacana perubahan nama Kabupaten Kayong Utara.
“Dalam pembicaraan tersebut, intinya Pak OSO menyarankan kepada DPRD agar meninjau ulang penamaan Kabupaten Kayong Utara. Kajianya, seperti apa dan maknanya apa? Kalau nama Tanjungpura jadi kabupaten bagaimana? Coba dikaji benar ndak Tanjungpura pernah ada di Sukadana, kata pak OSO,” ujar Sarnawi menirukan ucapan OSO.
Mengenai isu perubahan nama kabupaten, TACB Kayong Utara menyambut baik dan mendukung. Harapannya, nama yang akan diajukan tentu harus memiliki kajian yang matang. Terutama dari sisi kesejarahan dan keilmuan. Karena nama tentu sangat berpengaruh pada suatu daerah, terutama dalam pembentukan citra dan jati diri. Hari ini banyak kita yang tidak memahami nama “Kayong”. Nama yang dijadikan kabupaten yang baru 17 tahun ini.
Dinukil dari buku sejarah tanah Kayong, yang terbit tahun 2023 oleh Tim Ahli Cagar Budaya Kayong Utara. Dijelaskan bahwa “Tanah Kayong” atau “Bumi Kayong”, saat ini identik dengan nama Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara. Nama Kayong berasal dari nama sungai yang berada di batang Sungai Tayap. Saat ini masuk di wilayah Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang. Di sekitar aliran sungai ini, sejak dulu terdapat sungai bernama "Sungai Kayong", atau ada yang menyebutnya “Sungai Kayung”.
Di sekitar Sungai Kayong, dihuni sub suku Dayak bernama Dayak Kayonk (Kayong) dan suku Melayu. Arti kata “kayong”, berasal dari bahasa sansekerta yaitu “kayon”, yang bermakna kekayuan atau kayu. Kata "kayon" berubah menjadi “Kayong” manakala lidah masyarakat setempat khsusnya, yang berdiam di perhuluan lazim memberikan penekanan pada huruf-huruf tertentu. Salah satunya huruf “n” dan "k", dalam melafalkannya seakan-akan terdapat bunyi huruf “n” dan “k“. Sehingga melekat di bagian ujung kata tersebut. Sehingga dari kata “kayon” menjadi “kayonk”.
Karena proses waktu dan budaya, kata “kayon” dilafalkan menjadi “kayonk”. Lama-kelamaan, kata “kayonk” berubah menjadi “kayong” hingga sekarang. Kata ini menjadi lazim didengar dan lebih mudah diucapkan oleh masyakarat pada umumnya.
Di dalam keseharian masyarakat Melayu Ketapang dan Kayong Utara, sering kita jumpai terdapat perbedaan dialog. Jika kita mendengarkan secara seksama, terdapat tekanan pada akhiran kata-kata tertentu. Misal, jika Melayu pesisir menyebut “pinggan”, maka Melayu di perhuluan menyebutnya “pinggant“. Jika Melayu pesisir menyebut “simpang”, maka Melayu di perhuluan menyebutnya “simpank“. Masih banyak lagi perbedaan lainnya.
Berdasarkan dari pemaparan tersebut, sesungguhnya nama “kayong” tidak ada di wilayah Kabupaten Kayong Utara saat ini. Jika wacana perubahan nama kabupaten ini bergulir, ada beberapa opsi nama yang bisa ditawarkan. Tentu nama yang memiliki landasan yang kuat. Misalnya nama-nama kerajaan yang pernah wujud di wilayah administratif Kabupaten Kayong Utara.
Kajian sejarahnya bisa dinukil dari leterasi-literasi sejarah Kayong Utara jauh ke belakang. Misalnya, mengambil dari latar belakang sejarah kerajaan besar yang pernah wujud di Kalimantan Barat, yaitu Tanjungura. Kerajaan Tanjungpura pernah beribu kota di Sukadana, sejak rajanya Prabujaya yang bertahta tahun 1464 – 1472. Prabujaya sebelumnya memindahkan ibu kota dari Benua Lama (Negeri Baru/Ketapang) ke Sukadana. Kerajaan Tanjungpura era Sukadana maju pesat, hingga menurunkan 11 generasi raja. Dimulai Prabujaya, terus ke Baparung, Karang Tanjung (Sang Ratu Agung), Panembahan Bandala, Pangeran Anom, Penembahan Ayer Mala, Panembahan Baroch, Panembahan Sorgi, Ratu Mas Jaintan dan Penembahan Giri Mustika di tahun 1677 M.
Hal tersebut diperkuat dengan bukti arkeologi di masa Kerajaan Tanjungpura era Sukadana. Seperti komplek makamTok Mangku, makam Panembahan Ayer Mala, Keramat Gunung Lalang, makam Pulau Datok dan lain-lain. Makam-makam tersebut mencirikan ketuaan dan kekhasan, yang mewakili masa dan gaya di abad ke 15 – 16.
Yang dapat dijadikan rujukan selanjutnya, yaitu sejarah Kesultanan Matan tua. Setelah Panembahan Giri Mustika mangkat tahun 1677, ibu kota kerajaan berpindah dari Sukadana ke Matan, saat ini Desa Matan Jaya Kecamatan Simpang Hilir. Kemudian kesultanan ini disebut sebagai Kesultanan Matan. Raja yang memerintah di Kesultanan Matan ada 4 generasi. Yaitu, Pangeran Jaga Dilaga, Sultan Zainuddin, Pangeran Ratu dan Pangeran Mangkurat.
Bukti arkeologi di masa Kesultanan Matan, yaitu situs Kolam Laut Ketinggalan, makam Sultan Matan dan Sayyid Kubra, makam Keramat Sekusor, umpak (bekas tiang seri keraton) dan makam tipe Aceh abad 17. Kemudian makam berbahan batu karang, makam tipe Melayu (Singapura/Tumasik) abad 17 dan lain-lain.
Kerajaan Simpang Matan pun bisa menjadi rujukan wacana perubahan nama Kabupaten Kayong Utara. Sejarahnya, tahun 1744 Pangeran Ratu Agung, cucu Sultan Muhammad Zainuddin (Matan) lahir. Kelak dia mendirikan Kerajaan Simpang Matan, yang pusat kekuasaanya berada di percabangan Sungai Matan dan Lubuk Batu. Hari ini lazim disebut Simpang Keramat. Pada tahun 1912, ibu kota Kerajaan Simpang Matan berpindah ke Teluk Melano, dipimpin Panembahan Gusti Roem.
Bukti arkeologi dan peninggalan di masa Kerajaan Simpang Matan, yaitu situs Simpang Keramat, bekas masjid, bekas tiang keraton, meriam Bujang Koreng, Makam Bunga di Sepuncak dan makam Swapraja Simpang. Kemudian ada cap kerajaan, payung, keris, catatan/manuskrip, dan lainnya.
Kerajaan Sukadana Baru (Nieuw Brussel) juga dapat menjadi rujukan wacana perubahan nama kabupaten ini. Pada tahun 1827, Tengku Akil dari Kerajaan Siak menjadi raja Sukadana, dengan Gelar Sultan Abdul Jalil Syah. Sukadana Baru atau Nieuw Brussel, merupakan nama yang dipakai pada masa pemerintahan Tengku Akil. Adiknya, yaitu Tengku Djakfar juga mendirikan kerajaan di Karimata tahun 1833.
Bukti arkeologi dan peninggalan di masa Kerajaan Nieuw Brussel atau Sukadana Baru, yaitu komplek makam Tengku Akil, komplek makam Tengku Abdul Hamid, bekas rumah wakil penambahan, eks Tangsi Militer Belanda, bekas gudang garam, bekas benteng Belanda di Pulau Datok, SDN 01 Sukadana, dan lainnya.
Beradsarkan linimasa perjalanan sejarah di atas, nama Tanjungpura bisa dipakai sebagai salah satu atau opsi kuat untuk penggantian nama Kabupaten Kayong Utara. Sebab dari sisi sejarah, dan bukti arkeologi di lapangan cukup kuat. Sehingga dapat dipertanggung jawabkan dari sisi sejarah dan keilmuan.
Selain itu, banyak nama kabupaten diambil dari nama kerajaan. Seperti Sintang, Mempawah, Sambas, Pontianak, Landak, Sanggau, dan lain-lain. Semua ini diambil dari nama kerajaan yang pernah berdiri di kabupaten tersebut.. (TACB/MH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar