Pantai Pasir Mayang, “Atasnya Ditebang, Bawahnya Dilobang”
SUKADANA – Kerusakan lingkungan disekitar Taman Wisata Pasir Mayang Desa Pampang Harapan, Kecamatan Sukadana, terbilang parah. Pasalnya, di gunung hutannya ditebang dijadikan ladang. Di pantai, tebing dan di sungai tanah/pasirnya dilobang, diambil batunya. Aktivitas ini sudah berlansung selama bertahun-tahun.
Pantai Pasir Masir Mayang, merupakan satu dari sekian objek wisata yang ada di Kabupaten Kayong Utara. Namun keasrian dan keperawanan lingkungan Pasir Mayang benar-benar ternodai. Pantai yang dulunya menyuguhkan keindahan dan kenyamanan paroma alamnya, sekarang hanya bisa unjuk tumpukan batu, gunung yang gundul dan bibir pantai yang rusak.
Pada hal, pengunjung pantai ini terbilang ramai. Apa lagi pada momen hari libur, pantai ini dipenuhi pengunjung, baik warga KKU sendiri, dari Kabupaten Ketapang bahkan turis mancanegara. Seperti momen Tahun Baru kali ini (1/1/2014), ribuan pengunjung memadati Pantai Pasir Mayang. Namun sayang, pemandangan kita menjadi terusik ketika menyaksikan pantai tak lagi menyajikan keasriannya.
Tumpukan batu di pantai dan di sungai, menjadi pemandangan dan suguhan sehari-hari. Puluhan, bahkan ratusan orang mengantungkan harapanya pada alam disekitar pantai. Sehingga kerusakan alam tersebut semakin kentara terlihat. Pada hal, jajaran gunung dan bukit-bukit yang ada disekitar Taman Wisata Pasir Mayang, adalah bagian dari gugusan Gunung Peramas – merupakan kawasan, flora dan fauna yang diliindungi.
Sepintas kita melihat, kerusakan di bibir pantai Pasir Mayang seperti terkikis abrasi. Namun jangan salah, campur tangan manusia pun sangat besar dalam menyumbang kerusaka tersebut, selain abrasi. Bibir pantai dan lereng gunung disepanjang Pantai Pasir Mayang dikeruk penambang batu. Sungai-sungai yang menyimpan bebatuan pun hanya menyisakan pasir dan tebing terjal. Kondisi tersebut semakin hari semakin melebar dari bentuk aslinya. Kerana alasan sesuap nasi, mereka rela merusak lingkungannya.
Palau kecil disekitar Batu Mak Bagok, batu yang dikeramatkan warga setempat, dulunya utuh ditumbuhi pepohanan yang menambah keindahan suasana pantai. Sekitar 2008 yang lalu, kondisi pulau ini masih terlihat utuh. Gertak (jembatan) penghubung dari pantai ke pulau masih ada. Sehingga pulau dan pantai yang berjarak ± 70 meter tersebut mudah dijangkau para wisatawan. Namun sekarang pulau tersebut telah rata dengan laut. Sebab batu-batu yang membuat pulau tersebut kokoh berdiri, menjadi sasaran penambang batu juga.
Rabu (1/1/2014), WK menyempatkan diri bertandang dan berbincang dengan warga Pampang Harapan, khususnya warga yang bermatapencarian disekitar Pantai Pasir Mayang. Pada dasarnya mereka menyadari apa yang mereka lakukan itu salah. Mereka tahu dampak negatif dari perbuatan mereka. Namun mereka tak mampu melawan tuntutan dan kebutuhan hidup mereka, yang semakin hari semakin meningkat. Tambah lagi, pembangunan sarana dan prasarana di daerah ini, pun membutuhkan jasa mereka. Sungguh ini kondisi yang dilematis.
Penuturan M. Tahir (60). Sebenarnya tujuan Pemerintah dan pihak Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) itu benar, 1000 % saya nyatakan benar. Namun masyarakat hidup tentu perlu makan. Masalahnya lapangan pekerjaan terbatas. Sementara populasi penduduk semakin bertambah. Kemudian kondisi lahan pertanian yang ada, ketersediaannya sangat terbatas pula. Sebab, lebih dari 70 % wilayah Desa Pampang Harapan adalah kawasan Hutan Lindung – kawasan TNGP.
Masih menurut M. Tahir. Minimnya SDM masyarakat kita, tentu menjadi faktor pendukung masalah-masalah yang ada. Tambah lagi kurangnya pembinaan Pemerintah atau para pemangku kepentingan yang ada, membuat masyarakat semakin tak punya pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan ekonominya selain menambang batu, pasir dan menebang pepohonan untuk dijadikan ladang mereka.
Dulu, lanjut M. Tahir, kami pernah dibantu bibit lengkeh, masing-masing sekitar 5 pohon per orang. Itupun hanya untuk beberapa orang saja. Tentu jumlah tersebut jauh dari cukup untuk menghijaukan gunung yang gundul akibat dibabat. Untungnya, ada diantara warga kita setelah selesai berladang, lahan tersebut ditanami durian, rambutan, kopi, karet dan lain-lain. Namun hal tersebut tentu tidak akan mampu mengembalikan resapan air dipermukaan gunung yang gundul secara drastis.
Saat saya masih muda dulu, parung (sungai) yang ada di Batu Mak Bagok ini debit airnya besar dan sangat deras. Gemuruh derasnya air yang turun, membuat kita ngomong di dekat parung tersebut sedikit mengeraskan suara. Tapi saat ini tidak lagi seperti dulu. Bahkan ketika musim kemarau, air di parung tersebut kering, “Kenang M. Tahir.”
Mata pencarian sebagian besar masyarakat Pampang adalah bertani dan melaut (nelayan). Dominannya bertani. Karena areal pertanian disini sempit, mau tidak mau kami harus membuka hutan, marimba/merambah gunung, menambang batu dan pasir. Sebenarnya saya pun kurang setuju melakoni pekerjaan ini, tapi apa mau kata, ini menjadi pilihan kami warga Pampang, sebab ketersediaan dataran yang bisa ditanami padi sangat terbatas. Sementara hasil dan sarana tangkap nelayan pun terbatas juga, “Ungkap Syahrul ((51).”
Syahrul, satu dari sekian petani Pampang yang melakukan kegiatan bertaninya di gunung. Bedanya dia dengan petani lain, dia petani menetap. Sedangkan petani lain, berladang (bertani) dengan cara berpindah-pindah. Terbukti, di atas lahan yang dibeli dengan rekannya seharga Rp. 800.000,- ini, sekarang sudah ditumbuhi durian, kopi, rambutan, pisang, kunyit, jahe, kencur dan tanaman obat-obatan lainnya yang sudah menghasilkan.
“Dalam berusaha saya punya prinsip juga. Jika durian, kopi, rambutan, pisang dan lain-lain bisa menghasilkan duit ratusan ribu per hari, kenapa kita harus berpindah-pindah? Kita semakin hari semakin tua, capek juga jika gitu-gitu terus. Saya pun baru kali ini berusaha di gunung. Itupun karena ada teman yang menawarkan lokasinya. Karena tertarik dan ingin mencoba bertani, akhirnya tawaran tersebut saya ambil. Kerena saya ingin punya usaha tetap, dan niat saya ingin menjadi contoh buat yang lain, bahwa dengan bertani menetap, kita bisa berhasil juga.” Ungkap Syahrul bersemangat.
Syahrul Bohri, nama lengkapnya. Pria paruh baya ini, sebelumnya bekerja sebagai nelayan dan peraih (penampun/penyalur) hasil pertnian dan nelayan. Karena usianya terbilang tidak muda lagi, dia memutuskan beralih ke dunia pertanian, karena menurutnya, bertani resikonya sangat kecil.
Saat WK bertanya tentang kerusakan lingkungan yang terjadi di Desa Pampang Harapan, dia sendiri juga menyesalkan kerusakan lingkungan yang terjadi di desanya. Katanya, “Hal ini tidak perlu terjadi jika kita semua sadar. Hal ini tidak perlu terjadi jika Pemerintah tanggap dan peduli.” Kerana dampak kerusakan tersebut sudah terasa dan terlihat nyata di depan mata.
Syahrul dan warga yang lainnya hanya bisa berharap, semoga program cetak sawah dari Pemerintah Tahun 2013 yang sedang berjalan di desanya, dapat menjawab permasalahan yang terjadi di kampung halamanya. Dan tentu tidak menutup kemungkinan harus didukung dengan program-program yang lain. Sebab, jumlah percetakan sawah tidak sebanding dengan jumlah penduduk Pampang Harapan. Apa lagi bagi warga yang terbiasa mencari uang dengan cara menambang. Tentu bukan pekara mudah untuk mengalihkan pekerjaan mereka.
Jika kondisi ini terus terabaikan, bukan tidak mungkin kelak anak cucu kita hanya tinggal mendengar cerita saja. Tanah yang dulunya subur menjadi tandus. Gunung yang dulunya mengalirkan mata-mata air menjadi kering akibat ulah tangan-tangan manusia. Ini telah terjadi di belahan dunia lain. Sebut saja negara Ethopia.
Dulu hutan di Ethopia lebat seperti Indonesia. Namun karena kerakusan para pendahulu mereka, hari ini warga Ethopia banyak yang meninggal karena kekeringan. Negara mereka menjadi tandus. Air di Ethopia menjadi barang yang langka dan mahal. Jika kita tidak sigap, tanggap dan segera mencegahnya, bukan tidak mungkin nasib kita kelak bisa seperti Ethopia. (WK Tim)