2014: Dewan Usulkan 6 TK/PAUD Baru, Belasan TK/PAUD Yang Ada Masih Menderita

TK Mutiara Bunda Pemangkat, Warta kayong Kalbar

Catatan: Redaksi Warta Kayong

Melihat Rekafitulasi Usulan Program/Kegiatan DPRD Kabupaten Kayong Utara Tahun Anggaran 2014, dengan tema/dasar usulan program dari “Hasil Reses DPRD KKU,” terdapat 6 usulan Pembangunan Taman Kanak-kanak (TK) atau lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), yang menyebar di enam desa yang ada di KKU. Enam item kegiatan tersebut hanyalah penggalan dari 421 item usulan yang ada, 4 diantaranya kosong tanpa pagu anggaran.

Enam usulan pembangunan TK/PAUD Baru yang dimaksud yaitu: PAUD Pelita Hati Desa Sungai Mata Mata (Simpang Hilir), PAUD Desa Teluk Batang Utara (Teluk Batang), PAUD Tanah Merah – Desa Sutera (Sukadana), TK/PAUD Batu Barat (Simpang Hilir), PAUD Suka Maju Desa Teluk Batang Utara (Teluk Batang) dan PAUD Satai Lestari (Palau Maya).

Usulan pembangunan TK/PAUD tersebut tentu merupakan gagasan baik, apa lagi bagi desa-desa yang belum memiliki lembaga PAUD sama sekali. Tentu hal ini merupakan usulan prioritas. Mengingat, pendidikan anak usia dini sangat penting dikembangkan. Dan ini merupakan amanat Peraturan Perundang-Undangan. Sebab, rusaknya moralitas bangsa saat ini, salah satu faktor penyebabnya yaitu rendahnya pendidikan karakter (akhlak) terhadap anak-anak sejak dini.

Orentasi pendidikan anak usia dini, ialah rencana untuk perbaikan kualitas manusia Indonesia 25 atau 50 tahun yang akan datang. Namun sayang. Program yang digaungkan Pemerintah Pusat ini, yang merupakan implementasi dari lahirnya semangat UU Nomor 20/2003, tidak didukung dengan ketersediaan sarana, prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan yang memadai oleh daerah. Banyak TK/PAUD yang tutup karena alasan tak ada biaya operasional, guru/tutornya tak bergaji, penetapan TK/PAUD dalam satu desa tidak tepat guna, tepat sasar dan tempat manfaat, serta segudang alasan lainnya.

Problematika lain yang terjadi pada TK/PAUD di KKU hari ini. Masih banyak TK/PAUD yang sampai detik sekarang guru-guru/tutornya tidak memiliki pemnghsilan tetap (gaji). Masih banyak TK/PAUD yang tidak/belum memiliki Ijin Operasional dari Dinas Pendidikan (Pemda). Belum lagi tebang pilih Dinas dalam memberikan program bantuan pada TK/PAUD yang ada. TK/PAUD yang pengelolanya dekat dengan oknum pegawai di Dinas, maka dia akan selalu mendapat program. Kemudian adanya indikasi PAUD-PAUD piktif yang dikelola oleh PKBM, masih aktif menerima biaya operasional dari Pemerintah.

Tercatat di bagian Pendidikan Non Formal (PNF) Dinas Pendidikan KKU, lebih dari 10 lembaga TK/PAUD yang berdiri antara tahun 2011 – 2013, usulan mereka ke Dinas tentang permohonan Ijin Operasional tak kunjung keluar. Saat pengurus/pengelola lembaga TK/PAUD konfirmasi ke PNF menanyakan hal tersebut, PNF selalu beralasan ini-itu.

Sungguh angin segar telah meniup dunia PNF. Kehadiran Nazril, S.Pd.I sebagai Kepala Bidang (Kabid) PNF, seperti membawa nuansa baru. Beliau merospon dan mengakomodir setiap usulan dan masukan dari lembaga-lembaga TK/PAUD yang ada. Mengevaluasi dan menginventarisir Pekerjaan Rumah (PR) tahun sebelumnya yang masih tertunda. Namun tantangan yang hadapi Kabid tidak ringan. Yang kami tangkap, beliau seperti keteteran menghadapi gurita birokrasi yang telah mengakar di tempat kerja barunya. Begitu banyak rekan sejawat yang tidak mengingikan kehadirannya. Tentu butuh kesabaran, butuh energi dan butuh strategi jitu untuk merubah semuanya.

Alhasil, dari inventarisir yang Kabid PNF lakukan, masih banyak TK/PAUD yang belum memiliki Ijin Operasional. Kerena tanggung jawab terhadap tugasnya, sekitar Juli 2013, berkas usulan Ijin Operasional TK/PAUD yang tertunda pun ditindaklanjuti ke Bagian Hukum Setda KKU. Namun sampai hari ini, ijin operasional tersebut tak kunjung ditetapkan.

Apakah pengurus TK/PAUD pasif atau tidak proaktif terhadap keberdaan sekolahnya? Apakah mereka tidak pernah berkoordinasi dan membicarakan kondisi sekolahnya ke Pemerintah? Apakah pengurus TK/PAUD tidak pernah menyampaikan masalahnya ke wakil-wakil mereka di DPRD? Atau pengurus tidak peduli dengan lembaganya dan hanya mengeruk keuntungan atas nama lembaganya? Tidak! Justru malah sebaliknya.

Mulai dari pendekatan hati ke hati, mengikuti arahan/petunjuk mereka, membuat puluhan proposal, dan bahkan harus rela nyurok (mengiba, dalam istilah Melayu), merka lalukan kepada orang-orang yang diharapkan bisa dan mampu menyalurkan aspirasi mereka. Namun, dari bentuk lisan hingga tertulis, itu bukanlah hal yang berarti buat mereka (para pemangku kepentingan).

Satu contoh TK yang belum memiliki Ijin Operasional, yaitu TK Mutiara Bunda Desa Pemangkat. TK yang berdiri dan beroperasi sejak 2011 ini, dari Kabid PNF A berganti Kabid PNF B dan C, sampai hari ini Ijin Operasional TK tersebut tak kunjung ada. Sehingga TK yang telah memiliki gedung sendiri, bangunan program PNPM-MP tahun 2010 ini, seperti “Hidup segan mati tak mau.” Sedikit demi sedikit guru dan anak didiknya meninggalkan TK yang tak memberikan harapan buat mereka.

Selama berdiri, pengelola/guru TK Mutiara Bunda hanya mengantungkan biaya operasional TK-nya dari Pemerintah Desa Pemangkat dan uang Pribadi Ketua Yayasan Pendidikan Sartika. Mereka bekerja tanpa gaji. Berkas usulan demi usulan ke Pemerintah dan Dewan, hanyalah tumpukan kertas yang layaknya jadi pembukus belacan (terasi). Dengan alasan tidak memiliki ijin operasional, usulan pun terbantah. Sementara, banyak TK/PAUD yang baru berdiri dan tidak memiliki Ijin Operasional, sudah mendapatkan biaya operasional dan lain-lain dari Pemerintah. Sebab pengelola PAUD tersebut memiliki hubungan dekat dengan oknum di Dinas.

Contoh lain, yaitu TK Sartika 2 Desa Penjalaan. Sejak berdirinya tahun 2008 yang lalu, sampai hari ini guru-gurunya tidak memiliki penghasilan tetap. Jika alasannya tidak memiliki ijin operasional, sejak 2010 TK tersebut telah mengantonginya. Alasan tak penah berkordinasi dengan Pemerintah dan Dewan, justru itu intens dilakukan, bahkan tidak hanya lisan, tertulis pun dilakukan. Alasan keterbatasan Anggaran Daerah? Alasan karena prioritas? Kamuflase belaka.

TK Mutiara Bunda dan TK Sartika 2 adalah salah satu contoh dari sekian banyak TK/PAUD di KKU yang mengalami penyakit gizi buruk atau busung lapar. Masih banyak TK/PAUD lain yang mengalami nasib serupa. Seperti TK Ya Bunaya Desa Pulau Kumbang misalnya, telah mati tak berkubur sekitar setahun yang lalu.

Salahkah mereka (guru/tutor TK/PAUD) ketika mereka mengadukan masalahnya kepada Pemerintah dan wakil mereka di Legislatif? Aibkah mereka menuntut haknya ke negera ketika mereka telah melaksanakan kewajiban mereka membina anak didik mereka, generasi penerus bangsa? Apakah mereka tidak punya hak atas apa yang dimiliki Pemerintah, sementara pengabdian mereka nyata, tujuan mereka jelas? Atau tak ada lagi orang-orang yang peduli dengan nasib mereka, yang kerjanya mencerdaskan anak-anak bangsa? Pada hal kita bisa menjadi orang, selain berkat Tuhan, berkat orang tua, tentu berkat jasa guru-guru pula.

Selalu saja alasan klasiknya keterbatasan Anggaran Daerah. Sementara Perjalanan Dinas setiap SKPD, yang terkadang banyak piktifnya, menelan dana ratusan juta, bahkan miliyaran rupiah. Dan sementara Dana Aspirasi, Uang Reses, Uang Sidang, Uang Perjalanan Dinas, Uang Tunjangan dan lain-lain diluar gaji pokok anggota DPRD, menelan dana puluhan miliyar rupiah bahkan ratusan miliyar.

Sebut saja tahun ini. Rencana Anggaran Aspirasi 2014 yang telah disusun Dewan mencapai angka pantastis, yaitu Rp. 52,3 M. Pada hal kesepekatan mereka, masing-masing hanya dipatok Rp. 2 M. per anggota. Namun ada murk up dana sebersar Rp. 12,3 M. lebih, yaitu 10 orang Anggota Dewan yang melebihi angka Rp. 2 M. dari hasil kesepakatan mereka. Angka tersebut melebihi angka dana Aspirasi Anggota DPRD Provinsi Kalbar Tahun 2013, melebihi Kabupaten Ketapang, eks kabupaten induk KKU. Okelah ini Tahun Politik. Tapi bukan berarti karena unsur pimpinan, harus mematok dana lebih dari kesepakatan Rp. 2 M/anggota, bahkan ada 1 orang anggota mencapai angka Rp. 10 M. lebih.

Ironis. Memikirkan keberlansungan nasib generasi berpikir seribu kali. Selalu berargumentasi bahwa Anggaran Daerah terbatas, dipilih karena prioritas. Selalu berjanji akan dianggaran di Tahun depan dan tahun depan. Namun ketika berbicara menyakut kepentingan kantong pribadi, Anggaran Daerah selalu cukup dan tersedia. Sehingga, RAPBD 2014 yang seharusnya sudah ketok palu, ditunda dan molor hanya karena ulur-tarik kepentingan pribadi mengatasnamakan masyarakat.

Jika aspirasi itu merupakan hasil penjaringan/penyaringan dari kegiatan reses, seharusnya itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan dokumen Musrenbangdes, bukan pesanan kolega atau teman dekat. Namun yang muncul, hampir merata setiap anggota mengusulkan normalisasi saluran, yang ujung-ujungnya hanya gotong-royong, kemudian diphoto untuk dokumentasi lampiran bahan laporan kegiatan.

Belum lagi jika kita teliti lebih dalam dari dokumen usulan tersebut. Banyak program yang diusulkan tumpang-tindih. Ada yang satu tempat dan satu item pekerjaan yang sama antara anggota satu dengan yang lain. Kemudian, ada program yang disamarkan peruntukannya, disamarkan nama kegiatannya, ada program yang berulang-ulang dilakukan, serta mengabaikan asas tepat manfaatnya, asas tepat gunanya dan asas tepat sasarannya. Dapat dipastikan, 70 % usulan tersebut bukan program prioritas yang dibuthkan masyarakat, tapi merupakan keinginan orang-orang tertentu, program politik untuk 2014.

Katakanlah bahwa 6 usulan TK/PAUD Tahun 2014 tersebut merupakan aspirasi masyarakat. Seharusnya mereka juga memikirkan keberlansung nasib TK/PAUD yang ada. Jangan sampai kita hanya bisa membangun fisiknya saja, namun dalam penyelenggaraannya TK/PAUD tersebut sakit-sakitan dan mati ditengah jalan, akibat kita abai. Sehingga nasib tenaga pengajarnya tidak diperhatikan, biaya operasional sekolahnya tidak disediakan.

Pada hal, tak ada satu aturan pun yang mengisyaratkan adanya hak dan kewenangan legislator untuk mengatur/mengelola anggaran pembangunan. Punya/mengelola CV saja tidak dibenarkan. Tugas mereka hanyalah merencanakan, membahas bersama-sama ekskutif, menetapkan dan mengawasi penggunaan angaran, selain hak angket dan legislasi yang mereka miliki.

Tapi inilah Indonesia. Semua bisa disiasati, bisa diatur. Buat usulan, dikonversi ke SKPD. Jika SKPD keberatan atau membantah, penetapan ditunda dulu. Namun lazimnya SKPD yang ada ACC saja, sebab komitmennya jelas. Ekskutif pun ingin aman juga. Inilah hubungan mutualisme. Tidak ada diantara mereka yang dirugikan, kecuali masyarakat.

Adalah wajar jika selama ini kegiatan pembangunan yang masuk ke desa, kebanyakan tidak sesuai dengan dokumen hasil Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Sebab, antara ekskutif dan legislatif, mereka seakan tidak peduli dengan dokumen Musrenbangdes. Murenbang hanyalah merupakan syarat formal, formalitas belaka.

Antara eksuktif dan legislatif, seperti dua sisi mata. Ada saatnya mereka saling meyalahkan. Ada saatnya mereka saling mendukung. Dan ada saat mereka saling mengecam, mengertak, ngemop ketika posisi mereka sama-sama terjepit, atau ketika keinginan mereka sama-sama tidak terakomodir dalam RAPBD. Di depan masyarakat mereka berantam, di belakang mereka berpaham (sepakat).

Pemerintah dan DPR adalah wakil masyarakat di Pemerintahan. Pemegang mandat besar dari rakyat, untuk rakyat. Jika mereka lupa saat duduk di kursi empuknya. Jika mereka selalu menghianati amanat masyarakatnya. Jika mereka abai atas aspirasi rakyat. Jika mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Dan jika mereka hanya sibuk memperkaya diri sendiri. Lalu kepada siapa lagi masyarakat dapat menitipkan kepercayaannya?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama