Keberadaan Trenggiling yang Kian Tergiling
Perburuan binatang yang satu ini kian menjadi. Pasalnya binatang ini memiliki nilai ekonomis yang menjanjikan. Dari daging hingga kulitnya berharga. Kulitnya yang berbentuk sisik tebal dan keras tersebut terlihat unik dan menarik. Selain memiliki nilai seni, kulit trenggiling dipercaya sebagian masyarakat memiliki khasiat tersendiri. Sebab itu ia diburu.
Hewan dengan nama latin Manis Javanica ini biasa dipasarkan penampungnya dalam kondisi hidup, mati dengan pengawetan vormalin dan dijual dalam bentuk kulit yang sudah bersih/kering. Daging trenggiling pun tergolong daging yang enak dikonsumsi bagi orang-orang yang tidak enggan makannya, terutama bagi warga nonmuslim, karena struktur tangingnya renyah dan halus.
Binatang ini sangat mudah ditemukan disekitar kita, teruma di kebun karet dan areal pertanian. Semut/rayap merupakan makanan pavorit trenggiling, jadi tak heran ia biasa mencari makan dari pohon karet lapuk milik warga yang banyak semut/rayapnya. Apa lagi saat musim penghujan, sudah pasti rayap/semut berkeluaran dari tanah/sarangnya sehingga mengundang trenggiling untuk datang.
Trenggiling biasa tidur di dalam lubang/celah pohon atau lubang tanah yang dibuatnya. Jika keselamatannya tercam maka ia akan bergulung seperti bola sehingga mudah saja warga menangkapnya. Biasanya hanya dengan memasukan kayu ke dalam lobang sarangnya persis di tengah perut trenggiling tersebut maka trenggiling akan menggulung kayu tersebut, sehingga mudah saja kita membawanya.
Kegiatan perburuan dan perdangan Trenggiling sebetulnya sudah berlangsung lama dalam masyarakat tanpa ada pencegahan. Pada hal, binatang ini termasuk salah satu satwa yang dilindungi kendati tidak termasuk kategori binatang langka. Perkembangbiakannya tidak seperti babi. Mamalia ini hanya mampu melahirkan keturunan dari 1 induk 1 ekor dalam setahun.
Maka tak heran, masyarakat Kayong Utara yang berada disekitar hutan biasa melakukan aktivitas perburuan dan penjualan trenggiling sebab harganya sangat menjanjikan. Biasanya warga menjual dalam kondisi hidup kepada penampung dengan harga antara Rp. 70.000,00 – 150.000,00/kg.
Menurut UU Nomor 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati beserta Ekosistemnya, dalam Pasal 21 ayat (2) BAB V tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa menyatakan bahwa, setiap orang dilarang untuk: a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. b. Menyimpan,memilihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati. c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain didalam atau luar Indonesia. d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. e. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan sarang satwa yang dilindungi.
Lebih lanjut dalam Pasal 40 ayat (2) menyatakan bahwa, “Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 21 dipidana dengan Pidana hukuman 5 tahun Penjara dan denda Seratus juta Rupiah/100.000.000.” Namun ancaman ini tak membuat pelakunya ciut (takut). Sebab bisa jadi mereka tidak tahu, pura-pura tidak tahu, tidak ada yang melaporkan, tidak terpantau petugas atau petugas tahu tapi pura-pura tidak tahu terhadap aktivitas mereka.
Anehnya perdagangan satwa-satwa yang dilindungi tersebut tidak hanya terjadi pada trengiling saja, namun seperti pada beberapa spesies Elang seperti Elang Bondol, Orang Utan, Beruang Madu, Klasi, Kelempiau, Bekantang/Bentang, Enggang dan berbagai jenis burung lainnya yang pelakunya baik dari dalam maupun dari luar daerah. Pemburu dari luar daerah yang biasa datang memburu dan membeli ialah dari Provinsi Bangka Belitung. Tanpa rasa takut dan bersalah aktivitas ini sudah mereka lakukan selama bertahun-tahun, sebab mereka dilindungi warga setempat.
Apabila tidak ada tindakan pencegahan, bukan tidak mungkin keberadaan satwa yang dilindungi seperti Trenggiling ini akan punah akibat ulah pemburu/masyarakat yang semakin hari semakin intens melakukannya. Bukan tidak mungkin satwa-satwa yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) yang kita banggakan menjadi incaran warga/pemburu yang lambat laun keberadaannya akan menipis dan terkikis, sehingga tak ada lagi warisan yang dapat kita wariskan kepada anak-cucu kita nanti tentang kekayaan alam Kayong Utara yang seharusnya bisa mereka nikmati.
Tentu dibutuhkan kesadaran kita sebagai masyarakat untuk menghentikan kegiatan ini dan mengingatkan pelaku dan/atau melaporkannya kepada pihak yang berwenang. Pihak yang berwenang pun tidak hanya menunggu, namun harus ada tindakan pembinaan, pencegahan, pengawasan dan memberikan sanksi-sanksi yang dapat memberikan efek jera bagi para pelakunya. Sehingga keberadaan satwa-satwa yang dilindungi ini benar-benar merasa aman dan nyaman hidup di habitat aslinya. Sebab fungsi satwa ini termasuk penyeimbang ekosistem kehidupan dan lingkungan yang kita diami● Has