Kisah Nyata ini berawal ketika Profesor Parker Wilson (Richard Gere) bertemu dengan seekor anak anjing praremaja di Stasiun Kereta Api Bedridge, Wonsocked, Amerika Serikat, tempat dimana ia biasa pergi dan pulang dari bekerja. Karena merasa kasihan, maka seekor anak anjing itu diajaknya pulang ke rumahnya dan diberi nama Hachiko.
Parker beserta istrinya Cate memelihara dan merawatnya hingga Hachiko bertumbuh dewasa, besar dan tiada hari yang dilewatkan Parker tanpa bermain bersama Hachiko.
Pada suatu saat, Hachiko secara diam-diam dan tanpa disangka oleh Parker bahwa Hachiko mengikutinya dari belakang hingga ke stasiun saat Parker berangkat kerja. Secara tidak sengaja Parker menoleh ke belakangnya setelah ia masuk ke gerbong kereta dan melihat Hachiko sedang duduk akan menyaksikan keberangkatannya. Namun, Parker terpaksa keluar dari kereta untuk memulangkan Hachico ke rumah.
Ketika pulang dari bekerja dan keluar dari gerbong kereta, ternyata Hachico menjemputnya di stasiun pada pukul 17.00. Maka sejak saat itulah Parker membiarkan atau mengizinkan Hachico mengantar-jemputnya di stasiun.
Setiap hari Hachiko mengantar-jemput tuannya (Parker) ke stasiun. Para pedagang yang ada di sekitar stasiun, serta para penumpang lainnya yang berjalan kaki terkagum-kagum serta tercengang menyaksikan apa yang kelakuan Hachiko, itulah yang membedakannya berbeda dengan anjing pada umumnya.
Semua orang yang tinggal di sekitar Stasiun Bedridge menyayangi Hachiko dan selalu menyapanya dengan ramah dan senyuman hangat seperti layaknya sapaan kepada manusia. Dengan wajah ceria Hachiko menatap setiap orang yang menyapanya dan sambil menggoyangkan ekornya sebagai tanda keceriaannya.
Hari berganti hari dan sampai pada satu ketika, Hachiko tak menemukan kedatangan tuannya di stasiun pada pukul 17.00. Namun begitu, ia tetap menunggu sang tuannya pulang dari pekerjaannya.
Terdengar kabar, ternyata tuannya, Parker Wilson meninggal dunia karena serangan jantung ketika ia sedang mengajar. Sementara Hachiko sepertinya tidak pernah mengetahui dan mengerti bahwa tuannya yang selalu diantar jemputnya telah tiada.
Tidak lama setelah kematian Parker, Cate (istrinya) menjual rumah mereka dan pindah meninggalkan Bedridge. Sementara Hachiko dipelihara oleh anak perempuan Parker, Andy Wilson (Sarah Roemer).
Ketidakmengertian Hachiko atas kematian tuannya membuatnya terus berharap dan menantikan akan kepulangan tuannya. Berulang kali Hachiko kabur dari rumah Andy untuk pergi ke stasiun dengan harapan ia akan menemukan tuannya kembali.
Andy sangat menyayangi Hachiko, karena itu ia selalu menjemput Hachiko di stasiun, dan hingga pada akhirnya Andy merelakan Hachiko pergi. Selama itu juga Hachiko tinggal di stasiun menunggu waktu hingga pukul 17.00. Ia terus menunggu dan duduk di bundaran di depan stasiun Kereta Api, menantikan kedatangan tuannya.
Kesetiaan Hachiko terus berlanjut dan bertahan hingga tahun kesepuluh meninggalnya Parker, (tuannya). Sampai akhirnya musim dingin tiba di tahun ke sepuluh, Hachiko meninggal di bundaran stasiun pada tengah malam yang sunyi dan dingin.
Kisah yang disajikan dalam film Hachiko: A Dog’s Story persis sama dengan kisah aslinya. Di Jepang, sebuah monumen berupa patung seekor anjing untuk mengenang kesetiaan Hachiko. Patung itu tepat didirikan di depan Stasiun Kereta Api Shibuya. Sungguh kesetiaan Hachiko melebihi batasan kesetiaan anjing pada umumnya.
Refleksi/ Renungan
Para pembaca yang budiman, kisah nyata mengenai seekor anjing bernama Hachiko di atas mengajarkan kepada kita, bahwa kesetiaan adalah dilahirkan dari kasih tulus. Kesetiaan Hachiko dibentuk, yaitu ketika Profesor Parker memberikan kasih yang tulus padanya. Artinya, di dalam kasih yang tulus (sesungguhnya) tidak ada nilai kepura-puraan atau kepalsuan. Karena sesungguhnya, di dalam kepura-puraan hanya ada penghianatan.
Jika sesekor anjing saja sanggup setia sampai mati pada tuannya, bukankah manusia diciptakan Tuhan jauh melebihi kesetiaan seekor anjing? Bukankah manusia diberikan akal budi atau kecerdasan oleh Tuhan supaya dapat membedakan bahwa dirinya tidak sama dengan binatang? Tetapi sayang, realita kehidupan memperlihatkan, bahwa terkadang manusia lebih senang memelihara sikap, tindakan dan kasih yang penuh dengan kepura-puraan. Itulah sebabnya, di dalam dirinya benih-benih kebencian, dendam, iri hati, dengki dan penghianatan pada sesamanya dan terlebih pada Tuhan tumbuh dengan subur.
Sebagai akibatnya, kekerasan, ketidakadilan, dendam, kebenciaan dan pembunuhan atas sesamanya menjadi kecenderungan yang sangat sulit dihapuskan. Karena di dalam hatinya sudah tidak ada lagi tempat atau lahan untuk menumbuhkan benih-benih kehidupan seperti yang dikehendaki oleh Tuhan dari manusia.
Tuhan telah menciptakan manusia sedemikian rupa supaya mereka dapat hidup saling mengasihi seorang akan yang lainnya. Itulah sebabnya Tuhan sangat peduli terhadap orang-orang yang dengan setia mengasihi sesamanya dengan sepenuh hati, dan bukan dengan setengah hati atau kepura-puraan. Karena sesungguhnya, kesetiaan kita terhadap sesama, kasih kita terhadap sesama seharusnya menjadi bukti nyata kasih dan kesetiaan kita kepada Tuhan. Maka, adalah tidak mungkin seseorang mengatakan bahwa dia sangat mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati sementara ia tidak mengasihi sesamanya dengan sepenuh hati. sumber : wikipedia dan lain lain .