TBI, Tahun yang Sepi dari Umatnya
Oleh: Hasanan
Sebagian agama atau suku tertentu di muka bumi ini memiliki nama tahun atau penanggalan sendiri. Demikian juga dengan Islam. Bulan Muharram, tetapnya tanggal 1 Muharram adalah Tahun Baru bagi umat Islam se- dunia. Bulan ini merupakan bulan penting bagi umat Islam, sebab disinilah awal peradaban Islam hingga berabad-abad memimpin dunia dengan peradaban Ilmu dan Iman, yang kala itu Barat dan Erofa masih dikuasai pemimpin jahiliyah.
Sejarah Singkat Sejarah 1 Muharram itu ditetapkan berdasarkan bulan/tahun Hijrahnya nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Yasrib – nama Madinah al-Munawarah sebelumnya, yaitu pada tahun 622 M. Penetapan itu ditetapkan 6 tahun setelah Rasullullah meninggal melalui rapat alot para sahabat nabi, sehingga pada tahun 638 M (17 H), khalifah Umar bin Khatab menetapkan tahun Hijriyah sebagai kalender resmi umat Islam. Penetapan 1 Muharram pertama tersebut bertepatan 16 Juni 622 M.
Sebelum Islam lahir (pra Islam), sistem penaggalan Hijriyah telah ada di jajirah Arab waktu itu. Hanya saja lebih dikenal dengan sistem campuran antara bulan (Kamariyah) dan matahari (Syamsiah) dan tidak baku. Kemudian penetapan tahun pra Islam ditentukan sesuai dengan kejadian, misalnya tahun kelahiran Rasullullah yaitu Tahun Gajah, karena pada masa itu ada segerombolan pasukan bergajah yang dipimpin Abrahah ingin menyerang Makkah dan menghancurkan Ka’bah, makanya disebut Tahun Gajah. Baru pada tahun ke- 9 priode Madinah sistem ini direvisi.
Kalender Islam (al-Taqwim al-Hijri) Berbeda dengan kalender lain, pergantian hari dalam kalender Islam yaitu setelah terbenamnya matahari waktu setempat berarti beganti pula hari. Sedangkan kalender Masehi, pergantian hari itu terjadi tepatnya pukul 00.00 waktu setempat. Megapa kalender Hijriyah demikian? Karena Hijriyah menggunakan metode perputaran bulan, bukan matahari.
Sekedar bacaan buat kita dan untuk mengulang/mengupdate ingatan kita, berikut saya paparkan nama-nama bulan dan jumlah harinya dalam satu bulan berdasarkan Kalender Hijriyah. Jika dihitung dalam setahun maka jumlah hari menurut Islam yaitu berkisar antara 354 hari – 355 hari. Adapun nama-nama bulan tersebut, yaitu: 1. Muharram = 30 hari 2. Safar = 29 hari 3. Rabiul Awal = 30 hari 4. Rabiul Akhir = 29 hari 5. Jumadil Awal = 30 hari 6. Jumadil Akhir = 29 hari 7. Rajab = 30 hari 8. Sya’ban = 29 hari 9. Ramadhan = 30 hari 10. Syawal = 29 hari 11. Dzulkaidah = 30 hari 12. Dzulhijjah = 29/30 hari.
Kemudian nama-nama hari dalam Islam, yang nama tersebut berlaku untuk semua kalender di dunia. Nama-nama hari tersebut diambil dari bahasa Arab (Islam), hanya saja pelafasan yang kita dengar sekarang agak berbeda, namun kata dasar atau etimologinya (asal katanya) yaitu dari bahasa Arab tersebut. Nama-nama hari yang dimaksud yaitu: 1. al-Ahad (Minggu) 2. al-Itsnayn (Senin) 3. ats-Tsalaatsa’ (Selasa) 4. al-Arba’aa / ar-Raabi’ (Rabu) 5. al-Khamsatun (Kamis) 6. al-Jumu’ah (Jumat) 7. as-Sabat (Sabtu).
Makna Hijriyah (Hijrah) Hijrah berasal dari bahasa Arab yang berarti pindah, menjauh atau menghindar. Sedangkan menurut bahasa Hijrah itu bisa berarti bahwa upaya keras untuk menjauhi sesuatu yang banyak mengandung mudharatnya ketimbang manfaatnya, misalnya hijrah dari perbuatan buruk menuju perbutan baik dan bermanfaat. Bahkan ada pendapat, “Jika ingin memperbaiki kualitas hidup dan ekomini, maka harus hijrah,” yang berarti bisa hijrah caranya atau pindah tempat usahanya jika di tempat usaha kita sekarang tidak punya prospek.
Sesorang yang mempertahankan cara-cara lama yang tidak relevan tanpa ada usaha untuk hijrah (memperbaiki), maka orang tersebut akan terbelakang dan tetap dalam keterpurukan sifat. Hijrahnya Rasullullah adalah inspirasi besar buat kita bahwa hidup itu perlu perubahan kearah yang lebih baik. Sebab itu ketika rasul sampai di Yasrib merubah nama Yasrib dengan nama Madinahtul al-Munawarah yang artinya Kota yang Terang Benderang (bercahaya), sedangkan Yasrib berarti tercerai-berai. Pesan moralnya ialah bahwa nama yang baik akan menginspirasi orang untuk melakukan kebaikan-kebaikan, dan itu terbukti di Madinah.
Fenomena Muharram Kekinian Sejak 2002 yang lalu, saya jadi kurang tertarik untuk ikut-ikutan memeriahkan tahun Baru Masehi, apa lagi dengan pesta yang berlebihan. Mohon maaf, bukan berarti saya anti Masehi, saya malah menghormatinya. Namun ada beberapa alasan yang mendasari saya untuk tidak larut dalam pergantian tahun tersebut, antara lain yaitu: 1. Mengapa Masehi begitu meriah dirayakan orang-orang Islam, sedangkan Hijriyah sepi dari perayaan, paling-paling sebatas memperingati di Masjid-masjid atau mushalla saja, itu pun sepi, yang hadir kebanyakan kaum tua saja, kaula mudanya entah kemana; 2. Bahwa Masehi lebih cenderung diperingati dengan hal-hal yang bersifat hura-hura dan perbuatan mubajir. Bagaimana tidak? Miliyaran rupiah uang dibakar (kembang api) secara sia-sia pada malam itu. Andai saja uang tersebut disumbangkan ke fakir-miskin, panti jumpo, panti asuhan, masjid/mushalla yang sedang dibangun, ponpes atau orang-orang yang membutuhkan dan berada di bawah garis kemiskinan tentu sangat besar manfaatnya dan tentu bernilai pahala. Anehnya untuk kegiatan sosial seperti ini kita mikir seribu kali dan bilang tak punya uang, tapi untuk hal yang bersifat hura-hura/mubajir seolah-olah kitalah yang paling kaya; 3. Selain hura-hura/mubajir, malam pergantian tahun Masehi biasanya dihiasi dengan pesta mabuk-mabukan, menari telenajang, pawai/arak-arakan yang tidak tertib dan menganggu bahkan ada yang pesta seks; 4. Tahun baru Islam Miskin dari Ucapan, hanya orang-orang tertentu saja yang mengucapkannya. Sementara tahun baru Masehi orang pada berebut mengucapkan “Selamat Tahun Baru 20….,” misalnya, baik via SMS, FB, Twit, spanduk atau baleho-baleho. Anehnya itu dilakukan orang-orang yang mengaku Islam. Hehe….
Sering saya berkoordinasi dengan teman-teman dalam bahasa santai. Saat saya tanya, “Mengapa Tahun Baru Islam sepi dari perayaan, sedangkan Tahun Baru Masehi bermacam-macam perayaan untuk memperingatinya?” ada yang menjawab “Lainlah, inikan tahun nasional, berlaku untuk semua.” Ada yang bilang pula, “Tahun Baru Hijriyah kan tidak cocok untuk melakukan pesta-pesta seperti itu, sementara Masehi kita bebas saja.” Kemudian ada yang bilang juga “Tahun Hijriyah tu tidak seru,” dan lain-lain.
Hehehe. . . . Ada benarnya juga ya gak sob pendapat tentang 2 moment tahun di atas. Jika yang menjawab “Lainlah, inikan tahun nasional, berlaku untuk semua.” Nah pertanyaannya, kenapa Tahun Baru Islam (TBI) tidak kita rayakan juga, Inikan tahun baru kita juga? Rupanya peringatan dalam pandangan mereka itu selalu diidentikan dengan pesta-pesta. Emang TBI itu tidak bisa dirayakan dengan pesta? Tentu bisakan? Tapi pesta yang tidak berlebihan dan tentu sesuai dengan tuntunan agama kita. Dan Islam menyebut itu bukan pesta, tapi acara syukuran sebagai bentuk syukur kita kepada Allah bahwa kita masih diberi umur panjang dan bertemu pada tahun baru tersebut. Jika mabuk-mabukan, bakar uang, pesta seks atau kebut-kebutan di jalan raya itu bukan syukuran namanya, tapi itu adalah pertunjukan dari bentuk kemubajiran, kezaliman atau kemaksiatan kita.
Sebagai generasi Islam, harusnya kita bangga bahwa kita memiliki kalender tersendiri (Kalender Hijriah/al-Taqwim al-Hijri), memiliki tahun baru sendiri. Benar, memperingati TBI itu bukanlah perintah/kewajiban, namun salahkah sebagai penganut Islam kita memperingati/merayakan TBI tersebut? Tentu tidak! Sebab, selain sebagai evaluasi diri kita pada tahun sebelumnya, ini pun merupakan momentum bagi kita untuk mempertembal keyakinan kita tentang Islam itu sendiri, menggali pelajaran yang berharga dari hijrahnya nabi serta melestarikan khazanah Islam yang mengandung pesan-pesan moral yang sangat tinggi.
Sepinya TBI dari pengikutnya ini tentu menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi kita bersama. Perlu langkah dan metode-motode baru dalam memotivasi generasi Islam agar mereka cinta khazah Islam yang ada. Sehingga kedepan mereka tidak hanya mengetahui Tahun Baru Masehi (TBM) saja namun mencintai dan tidak melupakan TBI mereka sendiri.
Semoga bupati Baru kita bapak H. Hildi Hamid dapat mewujudkan janjinya yang sempat tertunda pada priode 2008 – 2013, yaitu menjadikan bulan Muharram sebagai Gawai Akbar masyarakat KKU lakyaknya Robo-roba di Mempawah, dan menjadikan ini sebagai agenda daerah pada priode 2013 – 2018 kepemimpinan beliau saat ini dan seterusnya. Inssya Allah, selain bernilai ibadah, juga bermanfaat sebagai motivasi buat masyarakat serta akan menjadi pendapatan daerah jika kita desain sebaik mungkin bahwa 1 Muharram adalah pesta bagi rakyat KKU, tentu ini menjadi wisata menarik bagi wisatawan baik lokal, nasional maupun internasional. Semoga, amin.