Guru, Pahlawan Sepanjang Masa

Guru, Pahlawan Sepanjang Masa

guru lubuk bati hendriyadi warta kayong

Hari ini, 25 Nopember 2013, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) se- Nusantara memperingati hari jadinya yang ke- 68 Tahun. Merupakan hari yang paling bersejarah bagi guru Indonesia, dimana hari ini para guru berkumpul bak reuni mengenang sejarah hari lahirnya, merupakan sejarah panjang dari perjalanan guru-guru di tanah air.

Sejarah Singkat PGRI: Enam puluh delapan tahun yang lalu, tepatnya pada 25 Nopember 1945, 100 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, berdirilah organisasi guru dengan nama Persatuang Guru Republik Indonesia (PGRI) di Surakarta. Korp guru Indonesia sebanrnya sudah berdiri sebelum tahun ’45, yaitu pada masa penjajahan Belanda dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB), tepatnya pada tahun 1912. Kemudian dari PGHB berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI), yaitu tahun 1932. Semangat kebangsaanlah yang melatarbelakangi guru-guru Indonesia saat itu sehingga nama PGHB menjadi PGI. Perubahan nama tersebut tentu mengundang reaksi dari Pemerintah Hindia Belanda saat itu.

Bukan tanpa perjuangan. Prosesnya sangat panjang dan menelan korban. Atas dasar kesadaran kebangsaan dan semangat perjuanganlah yang mendorong guru-guru pribumi memperjuangkan persamaan hak dan posisi dengan pihak Belanda. Salah satu dari perjungan mereka, Kepala HIS yang sebelumnya selalu dijabat orang Belanda, satu per satu pindah ke tangan orang Indonesia. Semangat tersebut semakin berkobar dan memuncak dengan kesadaran dan cita-cita perjuangan guru tidak lagi berorentasi pada perjuangan perbaikan nasibnya, memperjuangan kesamaan hak dan posisinya dengan Belanda, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriak “Merdeka.”

guru lubuk bati hendriyadi warta kayong 2

Tiga konsep dasar yang melatarbelakangi perjungan dan perubahan/pendirian PGRI saat itu, yaitu: 1. Memepertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia; 2. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan; 3. Membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.

Sejak Kongres itulah yang persatuan guru sebelumnya yang berdasarkan atas perbedaan tamatan, perbedaan lingkungan profesi, daerah, politik, agama dan suku dihapuskan dan melebur kedalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) hingga hari ini.

Kemajauan Guru adalah Cermin Kamjuan Bangsa: Kita mungkin pernah mendengar cerita spektakuler dari Kaisar Jepang. Setelah bom atom di Kota Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945 oleh Sekutu, saat itu Jepang Lumpuh total, dua kota besar di Jepang tersebut luluh-lantak akibat bom super dasyat sekutu. Apa yang dilakukan Kaisar Jepang Hirihito saat itu? Beliau bertanya kepada petinggi negara yang ada, masih adakah guru yang tersesisa? Jika ada, mari kita bangun Jepang melalui pendidikan, “Ungkapnya.”

Terbukti dalam waktu yang tidak terlalu lama, Jepang bangkit kembali. Bahkan hingga hari ini, industri-industri Jepang disegani di Asia bahkan dunia. Amerika saja kepepet bersaing dengan Jepang dalam hal industri.

Kemajuan jepang tentu tidak terlepas dari peran guru-gurunya, serta didukung dengan regulasi yang jelas dan kebijakan yang benar-benar memperhatikan kesejahteraan dan profesionalitas guru-guru di mereka. Alhasil, peradaban Jepang bangkit dengan peradaban ilmu. Inilah pelajaran yang paling berharga yang yang bisa petik dari Jepang – bangsa yang pernah menjajah kita 3,5 tahun lamanya.

Guru Indonesia di Era Baru: Alhamdulillah, palan tapi pasti nasib guru-guru Indonesia mulai diperhatikan. Selain gaji pokok, guru-guru pun mendapatkan berbagai tunjangan, dan terakhir yaitu tunjangan sertifikasi bagi yang telah lulus ujian sertifikasi.

Bila kita mengitip ke masa lalu, nasib guru benar-benar kurang mendapatkan perhatian, persis cerita Umar Bakri versi Iwan Fals. Banyak guru-guru yang mencari kerjaan tambahan. Ada yang jadi pengojek, buruh, penambang dan lain-lain. Kesejahteraan mereka benar-benar terbelakang. Jangankan memiliki sepada motor, memiliki sepeda ontel pun sangat sulit, apa lagi rumah. Tinggal di RGS (Rumah Guru Sekolah) pun sudah luar biasa.

Pada hal dari gurulah kita bisa menjadi orang. Mulai dari RT, Kades/lurah, camat, bupati/walikota, gubernur, menteri-menteri, presiden dan lain-lain. Kita bisa membaca dan menulis, gurulah yang membimbingnya. Kita bisa mengaji al-Qur’an pun karena adanya guru ngaji. Kita bisa silat, karate, kempo, kumfu dan berbagai ilmu bela diri lainnya itu pun berkat adanya guru tersebut. Maka pantaskah kita sombong dengan mereka setelah kita bisa? Tidak sepantasnya hal tersebut terjadi, kerena guru adalah Pahlawan di atas Pahlawan.

Guru Indonesia di Era Baru ini sangat dituntut profesionalitasnya. Tidak hanya pengetahuan seputar disiplin ilmu yang melekat padanya, namun harus pula memahami ilmu pengatahuan dan teknologi lain yang semakin hari semakin pesat perkembangannya. Tidak hanya bisa mengajar anak didik, tetapi harus pandai membimbing dan membina genrasi bangsa ini agar berkepribadian Pancasila dan agamis. Dan tentu ini harus pula di dukung peran orang tua dan masyarakat.

Menghormati Guru Berarti Menghormati Orang Tua Kita: Yang membuat kita miris hari ini, penghormatan kita kepada guru mulai pudar. Bahkan kadang kita merasa lebih hebat dari guru-guru kita. Jangankan peduli dengan keadaan guru, menyapanya saja sudah sulit kita lakukan, bahkan kadang tak segan-segan mereka kita jadikan bulan-bulanan akibat prilaku buruk kita yang sulit diarahkan dan cenderung melawan melawan mereka.

Sekali lagi kita harus belajar dari kolonial kita dulu (Jepang). Alkisah, pada hari itu warga dan media Jepang dikejutkan dengan perlakuan aneh dari petinggi militer Jepang. Tiba-tiba sang Jenderal bintang 4 tersebut turun dari mobil mewahnya dan tunduk memberi hormat kepada laki-laki paruh baya yang sedang menarik sepada ontelnya. Warga dan media Jepang yang ikut serta bersama jenderal saat itu terkaget-kaget. Siapakah gerangan lelaki tua tersebut? Mengapa jenderal begitu menghormatinya? Menanggapi pertanyaan wartawan sang jenderal berkata, “Beliau adalah guru saya.”

Berbeda dengan kita hari ini, kata hormat/menghormati seakan harus dikubur sedalam-dalamnya. Kita merasa kitalah yang paling hebat. Memiliki jabatan sedikit lebih tinggi dari guru sudah merasa hebat darinya, sudah enggan menyapanya bahkan kadang tega menganiayanya. Begitu mudah buat kita melupakan jasa-jasanya. Pada hal merekalah yang telah membuat kita bisa dan menjadi pintar.

Ada cerita menarik dari guru kesenian penulis di SMP Tl. Melano dulu yang masih penulis ingin hingga kini. Nama beliau Abdul Latif (almarhum). Semoga Allah mengambuni dan mengangkat derajat beliau, amin. Cerita ini beliau sampaikan ketika beliau pulang libur dari Jawa. Saat sedang asyik-asyiknya berkendaraan, tiba-tiba beliau terjebak rajia Polantas. Kerena tidak membawa perlengkapan SIM maka beliau di tilang Polantas. Salah satu dari Polisi yang menilang tersebut mengenal beliau dan berkata, “Bapak, pak Latif ya?” Ya, “Jawab pak Latif.” Saya murid bapak di SMP dulu pak “Ungkap polisi tersebut kepada pak Latif.” Singkat cerita, mereka saling berpelukan. Tapi maaf pak, bapak tetap saya tilang, “Polisi tersebut kembali berkata.” Kembali pak Latif memeluk muridnya karena merasa bangga dan haru atas rasa hormat dan kedisiplinan anak didiknya tersebut.

Sungguh tak pantas kesombongan itu kita pertontonkan dihadapan guru-guru kita. Tidak ada kata bekas buat mereka mestipun kita tidak lagi belajar aktif dengannya. Selama ilmu yang kita dapat darinya terus memberi manfaat dalam kehidupan kita, mereka tetap guru kita. Guru tidak pernah meminta imbalan atau materi dari keberhasilan kita, bagi mereka keberhasilan kita adalah bagian dari keberhasilannya. Maka sepatasnyalah kita menghormati, menghargai dan berterima kasih kepada mereka. Selamat Ulang Tahun PGRI yang ke- 68. Jaya Guruku, Jaya Bangsaku● Has.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama