Kompas.com Senin, 6 Juni 2011 | 04:23 WIB
Kebodohan telah melanggengkan kemelaratan dan kekuasaan kolonial Belanda. Pendidikan kemudian menjadi tema sentral dalam pergerakan nasional. Inilah yang mendorong Tan Malaka, Bung Karno, Sjahrir, Ki Hajar Dewantara, dan tokoh-tokoh lainnya mendirikan sekolah dan ikut mengajar.
Bertolak dari perjalanan sejarah yang pahit, para pendiri Republik bercita-cita bahwa kemerdekaan akan mengantar rakyat Indonesia menjadi bangsa yang cerdas. Agar hal ini tidak dilupakan generasi penerus, ihwal mencerdaskan bangsa dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berusaha melaksanakan amanat itu. Anggaran sektor pendidikan digenjot, terbesar dibandingkan sektor lainnya. Pemerintah kemudian mengumumkan wajib belajar 9 tahun bagi anak-anak Indonesia.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya program mencerdaskan bangsa justru menjadi lahan baru untuk memperkaya diri kalangan pejabat. Aneka tafsir kemudian muncul. Ada yang berpendapat, wajib belajar bukan berarti sekolah gratis. Karena itu, berbagai pungutan tetap marak.
Ada pula yang berpendapat, program itu hanya berlaku bagi siswa dari keluarga miskin. Yang dibebaskan pun hanya sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP). Selebihnya harus tetap membayar, seperti uang masuk sekolah, seragam, uang buku, dan sumbangan investasi pembangunan gedung.
Alhasil, banyak anak yang putus sekolah karena orangtuanya tidak mampu. Lalu terjadi banyak kasus pelajar yang nekat melakukan percobaan bunuh diri bahkan bunuh diri karena orangtuanya tak mampu membayar tunggakan SPP.
Lantas, apa sesungguhnya yang terjadi pada pendidikan kita?
Kabupaten termiskin
Di Kalimantan Barat, Pemerintah Kabupaten Kayong Utara melangkah lebih progresif. Sejak terbentuknya kabupaten ini tahun 2007, sebagai pecahan Kabupaten Ketapang, wajib belajar dilaksanakan secara absolut dan tidak hanya 9 tahun, tetapi 12 tahun. Selain itu, Pemkab juga menyiapkan pelayanan kesehatan 24 jam berikut tenaga dokter, secara gratis.
Berbeda dengan konsep wajib belajar 9 tahun yang sasarannya lebih kepada keluarga tidak mampu, Pemkab Kayong Utara menetapkan semua murid sekolah—negeri maupun swasta, TK hingga SLTA—tidak dikenakan SPP dan pungutan lainnya.
Pemkab juga menyediakan dua setel seragam, termasuk batik, dan buku-buku pelajaran secara gratis. ”Dengan demikian, tidak ada alasan orangtua melarang anaknya sekolah. Dan pemerintah sudah melaksanakan kewajibannya dalam mencerdaskan bangsa,’’ kata Hildi Hamid, Bupati Kayong Utara.
Kayong Utara merupakan kabupaten termiskin di Kalbar. Mayoritas penduduknya adalah petani gurem dan nelayan tradisional, kecuali di Pulau Karimata dan pulau-pulau lain yang telah menggunakan alat tangkap modern.
Data Bappeda setempat tahun 2010 menunjukkan, kepadatan penduduk Kayong Utara berkisar 20 jiwa per kilometer persegi. Namun, dari 95.605 jiwa penduduk, sebanyak 39.408 jiwa dikategorikan miskin (sekitar 41 persen).
Menurut Hildi, akibat kemiskinan, angka putus sekolah sangat tinggi pada masa lalu. Bangku sekolah banyak yang kosong. Orangtua melihat anaknya lebih bermanfaat membantu di ladang atau menangkap ikan di laut. Sebagian lagi membiarkan anaknya berkeliaran. Data tahun 2009 menunjukkan, jumlah anak telantar 149 orang.
”Setelah sekolah digratiskan, jumlah yang mendaftar membeludak. Bahkan, ada yang usianya di atas 15 tahun mendaftar di SLTP. Ini menunjukkan meningkatnya minat belajar,’’ kata Hildi.
Di kabupaten ini terdapat 13 TK, 101 SD dan 7 sekolah agama setingkat SD, 32 SLTP dan 4 sekolah agama setingkatnya, 7 SLTA dan 2 sekolah agama setingkat, serta 3 SMK.
Menurut Hildi, pada awalnya Pemkab kesulitan mendatangkan tenaga pengajar. Mereka menganggap Kayong Utara sebagai daerah terpencil dan terbelakang. Namun, setelah Pemkab memutuskan mengutamakan guru dalam penerimaan calon pegawai negeri baru, yang mendaftar membeludak. Bahkan, ada yang dari Aceh.
Pelayanan kesehatan gratis
Bertolak dari gawatnya kemiskinan di Kayong Utara, Pemkab juga menggratiskan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Memang, di daerah ini belum ada rumah sakit karena memang belum dirasakan mendesak, sementara biaya operasional rumah sakit cukup besar.
Sejauh ini puskesmas yang ada dimodifikasi dan dilengkapi peralatan kedokteran, ruang rawat inap, dan dokter jaga 24 jam. Dokter spesialis juga didatangkan pada hari tertentu.
Di daerah lain, seusai jam kerja di puskesmas, dokter umumnya membuka praktik di rumah dinasnya dengan tarif yang berlaku umum. Di Kayong Utara, agar pasien tidak dipungut bayaran, Pemkab memberi insentif kepada dokter sebesar Rp 100.000 per pasien yang datang ke rumahnya di luar jam kerja.
Insentif bagi dokter kapal puskesmas jumlahnya lebih besar, Rp 2 juta untuk sekali perjalanan. Kapal puskesmas ini dilengkapi peralatan kedokteran untuk melayani penduduk di pulau-pulau. Sekali perjalanan membutuhkan waktu 7 hari.
”Walaupun saat ini hanya puskesmas, jika dokter berpendapat pasien harus dirujuk ke rumah sakit di kabupaten lain, Pemkab akan menanggung biaya ambulans dan rumah sakitnya. Jika dokter di rumah sakit mengatakan pasien harus dirujuk ke rumah sakit di Jakarta, Pemkab akan menanggung semua biayanya,’’ kata Hildi.
Kayong Utara jelas bukan daerah penghasil minyak bumi, melainkan kabupaten termiskin dan terbelakang di Kalbar. Lantas, bagaimana Pemkab membiayai semua pelayanan gratis tersebut?
Hanya beberapa miliar
Hildi terperanjat ketika ditanyakan hal itu. Ia mengatakan, pemerintah telah menyiapkan bantuan operasional sekolah (BOS) dan BOS daerah. Untuk kesehatan ada jamkesmas, askes, dan lain-lain. Pemkab hanya menambah beberapa miliar untuk menggratiskan pendidikan dan pelayanan kesehatan.
”APBD Kayong Utara ratusan miliar setiap tahun. Apalah artinya jika Rp 5 miliar atau Rp 10 miliar dialokasikan untuk menggratiskan pendidikan dan kesehatan,’’ kata Hildi.
Dengan menggratiskan pendidikan, masyarakat menjadi bergairah kembali. Anak-anak mereka tidak lagi memegang cangkul di ladang, menangkap ikan di laut, atau berkeliaran di pasar, tetapi kini duduk di bangku sekolah tanpa merasa rendah diri, membaca buku yang sama dan belajar bersama.
Agar progam pendidikan dan kesehatan gratis tersebut berkesinambungan, direncanakan akan ditetapkan dalam perda. Selama ini hanya berdasarkan keputusan bupati.
Bupati Hildi mengaku mendapat banyak masukan dari pamannya, pengusaha nasional Oesman Sapta, yang juga lahir dan besar di Kayong Utara, terutama agar mendahulukan kepentingan rakyat dan tidak membebaninya.
Terlepas dari semua itu, Kayong Utara layak menjadi contoh bahwa pendidikan dan pelayan kesehatan gratis bukanlah masalah yang membutuhkan dana besar. (Maruli Tobing)