KRISIS MULTI DEMENSI BERLANJUT, Kesalahan Itu Kita Yang Memulainya….!

KRISIS MULTI DEMENSI BERLANJUT, Kesalahan Itu Kita Yang Memulainya….!
Oleh: Hasanan
hasanan
Krisis multidemensi yang terjadi saat ini itu akibat ulah-ulah tangan manusia. Nafsu merupakan faktor utama yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Yang dimaksud nafsu dalam hal ini ialah nafsu yang berlebihan dan tidak terkendali – nafsu tanpa dinetralisir akal dan tanpa pesetujuan hati sebagai penyeimbang kebenarannya – dan tentu nafsu tanpa meniti rel dan norma-norma yang berlaku, baik norma adat, sosial maupun norma agama, tentu akan melahirkan krisis-krisis disetiap lini kehidupan.

Kasus korupsi, pelecehan seksual, pencabulan, pergaulan bebas, krisis kepercayaan serta tindakan amoral maupun asusila lainnya merupakan krisis multidemensi yang perlu formulasi (rumusan) bijak dalam penanganannya, setidaknya dapat mengurangi dampak negatif yang menimpa anak negeri ini. Kondisi ini tidak lahir begitu saja, tetapi melalui sebuah proses sehingga lahirlah kondisi tersebut. Kesalahan tersebut tentu ada yang memulainya, baik generasi jauh sebelum kita, generasi setelah itu maupun pada fase generasi kita yang akan dan telah mulai mengikuti jejak mereka – tanpa ada usaha perbaikan sehingga kita tularkan pada generasi setelah kita.

Menurut saya, ada beberapa hal yang menyebabkan krisis ini terjadi. Untuk memperbaiki kondisi ini yang saya sendiri pun sedang dalam proses belajar untuk melakukan dan memperbaikinya. Memang berat, tetapi saya coba berani untuk melalukannya kendati tertatih-tatih. Saya memiliki keyakinan, jika hal tersebut kita terapkan di dalam keseharian kita, baik di dalam lingkungan keluarga, masyarakat maupun di lembaga-lembaga yang kita sendiri berada didalamnya, insya Allah akan memberi warna tersendiri, minimal buat diri kita.

bungkar no hasanan rantau panjang kayong utara kalimantan barat

1. Kurikulum Pendidikan yang Tidak Mendidik
Yaitu sebuah kurikulum yang tidak hanya mengejar kualitas intelektual semeta, namun kuantitas manusia yang beradab dan bermartabat dengan pendidikan akhlak (etika/karakter) dan aqidah yang benar, baik dilingkungan pendidikan formal, nonformal maupun informal, terutama madrasah (sekolah/pendidikan) dilingkungan keluarga.

Kurikulum pendidikan yang saya maksud tidak hanya kurikulum pendidikan di sekolah formal saja, termasuk pendidikan dilingkungan keluarga. Tentu kita harus menemukan metode dan rumusan yang tepat dalam mendidik anak sesuai dengan tingkat umurnya, sebagaimana pesan Nabi Muhammad SAW, “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya.” Perbaharui terus kurikulum pendidikan keluarga kita. Jika tidak cocok kurikulum A gunakan kurikulum B, atau temukan kurikulum lain yang sesuai dengan perkembagan psikis (kejiwaan) anak dan tuntunan agama.

Pendidikan yang mengutamakan mutu intelektual/intelejensi dan mengejar kurikulum semata akan melahirkan generasi yang pintar dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) saja, namun miskin dalam akhlak dan aqidahnya atau iman dan taqwanya (imtaq). Keselarasan ini yang perlu dilakukan para pakar pendidikan dan pendik kita, termasuk kita semua. Sebagaimana teori Bloom bahwa pendidikan harus menyeimbangkan antara 3 unsur yaitu: Kognitif (pengetahuan), Afektif (sikap/mental/emosional) dan Psikomotorik (keterampilan), sehingga melahirkan anak yang cerdas pengetahuan, sikap dan ketempilannya. Para tenaga pendidik (guru) dan dunia pendidikan sangat paham betul teori Bloom tersebut, tinggal penerapannya saja yang masih jauh dari harapan.

Misalnya kasus korupsi yang membelit bangsa ini. Tentu sangat positif apabila korupsi dan bahayanya masuk dalam kurikulum pendidikan kita, baik dalam pendidikan formal, nonformal, informal atau pendidikan dilingkungan keluarga, sebab ini termasuk pendidikan karakter/akhlak, sendini mungkin harus diterapkan. Namun tentu ini harus dimulai dari lingkungan keluarga dan institusi pendidikan yang bebas dari partik-pratik terebut, sebab jika institusi (pelaku utamanya) saja rusak/cacat mentalnya bagaimana mungkin ia bisa mendidik/membina generasi bangsa ini menjadi lebih baik bukan?

2. Minimnya Pendidikan dan Etika Politik
Dengan bergulirnya Otonomi Daerah (Otda) sejak 2004 yang lalu menciptakan raja-raja kecil di daerah. Ini adalah kata-kata yang sering saya dengar dari orang-orang pintar, dan itu benar terjadi. Sebut saja Ratu Atut yang sedang santer dibicarakan media saat ini, adalah bukti keberhasilan sebuah strategi politik untuk menancapkan Dinastinya di bumi Banten. Untuk melanggengkan dinastinya, Lembaga Tinggi Negara sekelas Mahkamah Konstitusi (MK) pun ditaklukan Dinasti Ratu Atut (DRA). Sebuah lembaga yang seharusnya menegakkan sufremasi hukum tapi malah ketuanya tengelam dalam kasus hukum kolusi pilkada dan kasus hukum lainnya.

Besarnya ongkos Pemilu dan Pemilukada menciptakan perwakilan/pemimpin yang rakus akan uang dan kekuasaan. Semua selalu diukur dengan materi/uang. Seorang calon pemimpin bisa dianggap tidak akan menang dalam pemilu manakala ia tak punya uang lebih sebagai sarana/media kampanyenya. Kepemiminan tidak lagi dipandang sebagai tanggung jawab terhadap yang dipimpinnya, namun merupakan fasilitas untuk mencapai kepuasan dan kejayaan pribadi.

Pendidikan politik yang baik dan benar merupakan langkah positif menuju perbaikan. Cara-cara berpolitik yang tidak mendidik tentu menciptakan situasi yang timpang, masyarakat yang apatis, matrealistis dan praghmatis dalam menyikapi politik itu sendiri, sehingga melahirkan tatanan kehidupan sosial yang keluar dari konteks norma-norma yang berlaku. Harusnya para politis menyadarinya, tapi malah mereka abai – pura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Mereka (politisi) pun tak sendiri, masyarakat ikut andil dalam menciptakan kondisi ini. Kepada calon masyarakat selalu meminta kompensasi (uang) jika ingin mendapatkan dukungannya dan calon pun selalu mengiming-iming masyarakat dengan uang dll demi memperoleh dukungan. Ini persis rantai makanan yang saling bertergantungan, sehingga melahirkan kultur (budaya) masyarakat apatis, matrealis dan praghmatis. Kesalahan itu kita yang memulainya.

Para politis saat ini kebanyakan hanya bisa mempengaruhi masyarakat dengan iming-imingan materi, kesempatan kerja, kesempatan belajar/kuliah atau sebuah jabatan kepada timses/calon konstituennya. Prilaku mereka yang tidak aspiratif dan selalu menampilkan pola hidup glamour dan konsumtif menimbulkan krisis kepercayaan terhadap mereka. Krisis kepercayaan yang terjadi pada perwakilan/pemimpin negeri ini membuat mereka melakukan cara-cara tidak prosudural dan mendidik demi mendapatkan dukungan, sehingga lahirlah masyarakat yang apatis, matrealis dan praghmatis dalam tatanan kehidupan sosial seperti yang telah saya kemukakan di atas. Sekali lagi, kesalahan itu kita yang memulainya.

Demokrasi dan demokratisasi yang kita bangga-banggakan saat ini ternyata hanya bisa melahirkan sosok-sosok pemimpin angkuh, zalim dan lalim. Sedikit sekali dari mereka yang benar-benar mengemban amanah rakyatnya. Demokrasi hanya bisa melahirkan partai politik (parpol) – sebuah persekutuan yang hanya memikirkan bagaimana bisa meraup keuntungan buat golongannya. Bagi mereka (politisi) tidak ada agenda pendidikan politik yang baik dan benar dalam kamus parpol mereka buat masyarakat, yang ada hanyalah kebohongan demi kebohongan, tebar pesona, pencitraan demi pencitraan, kezaliman dan kezaliman yang hanya bisa mereka torehkan buat bangsa ini – sebuah warisan yang tak memiliki nilai untuk diteladani. Parpol bagi mereka adalah peluang untuk mencari harta dan tahta bahkan tak jarang untuk menjerat wanita, bukan peluang untuk menebarkan kebaikan dan menyampaikan dakwah (syi’ar kebaikan).

3. Lemahnya Penegakkan Hukum
Hukum adalah perisai yang semestinya melindungi bangsa ini dari tindakan kriminal dan aksi-aksi kejahatan. Hukum harus memberikan rasa aman dan nyaman. Ia hrus mencerminkan keadilan bagi siapapun yang mencari keadilan, bukan tebang pilih dalam penerapannya. Hukum bukan hanya milik para pejabat, konglomerat, politis, praktisi hukum, lembaga hukum dan makelar hukum. Namun hukum adalah milik semua – milik para pencari keadilan. Penegakkannya adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar atau dibeli dengan apapun.

Praktik hukum yang cenderung membela yang kuat dan menindas yang lemah adalah kezaliman atas kemanusiaan, sehingga wajar saja kerusakan sistem ini terus berlangsung hingga hari ini, karena semua itu bermuara pada uang dan uang. Uang menjadi tolak ukur atas apapun bagi pelaku kejahatan. Karena Uang Habis Perkara (KUHP). Seorang idealis pun akan mati idealismenya ketika berada dilingkungan yang matrealisme dan individualisme, kecuali ia seorang pemimpin yang tegas, adil bertanggung jawab dalam mengemban amanah dan bertekad memperbaiki keadaan. Itupun kadang tak bertahan lama, karena ia akan mati tergilas sistem kejahatan yang mengurita dan terstruktur.

Lihat saja yang terjadi hari ini dilingkungan kita. Ketika seorang pemimpin melakukan kejahatan/pembohongan publik, selalu ramai orang-orang yang membelanya. Berbagai argument mereka kemukakan demi pembenaran, agar dianggap loyal dan demi mendapatkan pengakuan bahwa ia adalah pahlawan bagi sang penguasa, sehingga berbagai fasilitas dari pemimpin pun mengalir padanya, mulai dari tawaran pekerjaan, promosi jabatan atau mengurusi proyek-proyek pesanan tanpa proses dan kelengkapan administrasi lelang yang jelas. Inilah hadiah yang diberikan pemimpin bagi orang-orang yang telah berjasa memebelanya, bukan penghargaan atas keberhasilan program pemerintah yang telah dilaksanakan orang seorang/dinas-instansi pelaksananya.

Menyikapi persoalan hukum, sangat pantas bila republik ini belajar dari China, Korea dan Singapura yang telah terbukti berhasil dalam mengatasi belitan Korupsi, Kolusi dan Nipotisme (KKN) yang melanda negeri mereka. Keberhasilan tersebut lahir dari seorang pemimpin yang berani dan tegas dalam menegakan kebenaran serta penegakkan supremasi hukum yang tidak tebang pilih, bahkan mereka sendiri siap mati jika mereka KKN.

Adakah pemimpin Indonesia yang berani seperti pemimpin China, korea dan Singapura? Tidak! Kita hanya bisa beretorika saja. Sekedar contoh, 1) M. Achil Mohtar, S.H, M.H. (mantan Ketua MK), beliau mengarang buku tentang pemberatasan korupsi di Indonesia tapi malah ia sendiri yang terlibat kolusi, bahkan beliau mengatakan siap dihukum seberat-beratnya apabila ia terbukti melakukan korupsi/kolusi, realitanya?; 2) Annas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat), saat gembar-gembor kasus Nazarudin (mantan Bendahara Umum Demokrat) Nazarudin menyebut nama Annas dalam kasus korupsi yang menjeratnya, Annas membantah dan berujar bahwa jika ia korupsi maka ia siap digantung di Monas, buktinya?; 3) Dan masih banyak contoh lainnya.

Pemberantasan korupsi/kolusi di Indonesia hanyalah jargon pemilu saja. Lembaga tinggi Negara seperti MK, Kepolisian, kejaksaan dan lainnya seakan gamang dalam menangani berbagai kasus, bahkan oknum mereka sendiri banyak yang terbelit kasus korupsi/kolusi. Kasus korupsi di negeri ini seakan sulit mau hengkang, karena setiap lahir kader penerus bangsa ini selalu saja dimulai dengan praktik dan nyanyian KKN. Eksistensi Komusi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti kapal nelayan yang berada ditengah samudera, terombang-ambing mencari tangkapan dan menghadapi ganasnya badai samudera. Banyak kasus yang tuntas diperkarakan, namun banyak pula yang tengelam ditelan badai kepentingan.

Andai saja kita semua bersepakat dan mendukung tentu tak ada kasus hukum yang tak bisa terselesaikan, apa lagi kasus korupsi/kolusi yang menumbuhkan sistem baru dan membunuh generasi bangsa ini. Kasus hukum apapun dan siapapun pelakunya harus diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pelakunya harus diberikan sanksi yang setimpal dengan perbuatannya, bukan hanya sekedar tidur beberapa bulan saja diruang bui ber-AC atau ruang VIV layaknya hotel berbintang, bisa keluar masuk dengan bebas seperti para koruptor. Sementara rakyat jelata disiksa, dicerca, di bui tidur di ruang yang pengap beralaskan batu. Adilkan hukum di negeri ini?

4. Birokrasi Hitam
Birokasi yang baik tentu harus dimulai dari seorang birokrat yang baik. Sistem itu diciptakan manusia – penguasa, pejabat, publik figure atau apapun namanya. Sistem yang baik menciptakan kondisi yang baik dan sistem yang buruk menciptakan kondisi yang buruk pula. Penjaringan pejabat/PNS/TNI/Polri yang sarat KKN akan melahirkan sistem yang penuh KKN. Pemilu yang sarat money politic akan melahirkan politikus-politikus yang abadi memelihara dan mengembangkan KKN. Praktisi hukum yang lahir dari sistem sarat KKN akan melahirkan penegak hukum yang sarat KKN pula. Ini bak penyakit akut/kronis yang sulit disebuhkan.

Banyak oknum pejabat/pegawai titipan/pesanan di Satuan Kerja Pemerintah Pemerintah Daerah (SKPD) di negeri ini, dari yang honorer hingga PNS. Kecurangan demi kecurang sering terjadi pada tes CPNS. Mengapa ini bisa terjadi? Karena gurita KKN membelitnya. Mulai dari tampuk pimpinan hingga bawahannya terbelit gurita ini. Tes CPNS kadang hanya untuk memenuhi syarat formal saja. Di Kalbar, masyarakat Kab. Kubu Raya (KKR) saja yang berani mengungkap kasus ini, sehingga tes CPNS di daerah tersebut diulang akibat kecurangan. Kepentingan famili, rekan, teman, kolega, tim sukses menjadi prioritas utama untuk diluluskan. Tak perduli hasil tesnya gagal, sebab hasil tes tertulisnya pun tak pernah dibuka secara transparan di ruang publik, yang ada hanya pengumuman nama-nama orang yang lulus tes saja.

Apa bisa dijamin bahwa panitia seleksi CPNS akan bekerja professional dan bebas dari manifulasi serta patuh pada sumpah dan aturan? Apa karena pembuatan soal dan penyeleksi soal tes CPNS dari UI/UGM akan bebas dari intervensi Pemerintah Daerah? Apa pendaftaran dan tes via online akan menjamin bahwa hasil tesnya benar dan bebas dari intervensi orang ketiga? Entalah. Yang pasti selalu saja ada celah untuk melakukan kecurangan hasil tes. Apa lagi pelakunya lahir dari sistem yang sarat KKN.

Kecurangan tes itu terjadi mulai dari tes (ujian) di sekolah. Kunci jawaban Ujian Akhir Nasional (UAS) selalu saja dikabarkan bocor sebelum UAN dilaksanakan. Makelar kunci jawaban pun bahkan tak segan-segan masuk ke sekolah. Dan yang mengejutkan kita bahwa pelakunya pun diantaranya adalah siswa-siswi sekolah tersebut. Mengapa guru diam? Mengapa dinas abai? Tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Inilah sistem gurita yang membelit negeri kita. Nilai-nilai ini telah tertanam sejak generasi bangsa ini di bangku SD, hingga mereka terjun ke masyarakat dan dunia kerja/usaha. Siapa yang salah? Semua itu kita yang memulainya.

Penempatan pejabat eselon pun kadang berdasarkan kepentingan atau janji politik saat kampanye, bukan profesionalitas, pangkat, golongan atau disiplin ilmu seseorang. Hal ini pun berkontribusi besar dalam membentuk sistem birokrasi hitam di pemerintahan bangsa ini. Antara politisi, pengusaha dan birokrat adalah tiga serangkai yang berperan besar dalam pembentukan sistem birokrasi hitam di negeri ini. Politisi berperan dalam pengendalian dan pembentukan struktur pemerintah/pemerintahan, Peraturan/Perundang-Undangan, pengusaha (hitam) sebagai pemodal pilitisi dalam memenangkan pemilu/pemilukada dan birokrat sebagai pelasakana visi-misi politisi, baik visi-misi tertulis maupun lisan untuk kepentingan bersama. Visi-misi tertulis untuk kepentingan masyarakat, visi-misi tidak tertulis untuk kepentingan politisi, pengusaha dan birokrat setelah mereka duduk menguasai pemerintahan. Semua itu berorentasi pada uang dan pengembalian modal.

Jika kita mau belajar dari Korea yang selektif dan ketat dalam seleksi CPNS-nya, dari China yang tegas pemimpinnya, dan dari Singapura (jiran) kita yang konsisten dalam penegakkan hukumnya, mungkin kasus korupsi/kolusi di negeri ini tidak akan berlarut.

5. Miskin Keteladanan
Berbagai kasus dan krisis multidemensi di atas tidak akan terjadi jika kita memiliki seseorang yang bisa diteladani, terutama keteladanan dari seorang pemimpin itu sendiri. Setelah masa kenabian dan khalifah, sangat sulit kita jumpai pemimpin yang bisa diteladani – satu berbanding seribu. Di Indonesia adanya di era tahun 45-an dan sebelumnya, sebut saja Imam Bonjol, Hos Cokro Aminoto, Buya Hamka, Jenderal Sudirman dan lain-lain. Ini benar-benar karakter pemimpin yang memiliki latar belakang baik, ikhlas, amanah, tawadu’ dan bertanggung jawab. Mereka benar-benar memikirkan kepentingan orang-orang yang dipimpinnya. Bagi mereka kepentingan agama dan bangsa di atas segalanya. Tak ada kompromi dalam menegakan kebenaran, meskipun yang meraka hadapi orang-orang zalim dan lalim. Tak ada tawar menawar uang, jabatan, tanah dan upeti dalam negosisasi politik mereka, yang ada hanyalah pilihan “Merdeka atau Mati,” atau “Mati Sahid atau Hidup Mulia.”

Bagi saya pribadi, sosok yang bersahaja dan bisa diteladani khususnya di tanah Bertuah ini ialah almarhum M. ZAINI EDRIF. Dari muda, menjadi PNS hingga masa pensiunnya, seluruh hidupnya beliau abdikan untuk bangsa ini, hingga maut menjemputnya. Untuk mengeksiskan Madrasah Aliyah Swasta yang dipimpinnya, hahkan beliau ikhlas menyisihkan gaji pensiun beliau untuk kepentingan guru, siswa dan sekolah yang dipimpinnya. Inilah semangat pengabdian dan pengorbanan yang patut kita teladani dari seorang pak Zaini, panggilan akrabnya. Sosok pemimpin yang benar-benar melayani, bukan minta dilayani.

Pak Zaini pun dikenal sebagai sosok multitalenta. Ilmu dan ketaatannya dalam agama tidak diragukan. Seni, adat dan budaya Melayu teguh dipertahankannya. Dunia kepanduan (Pramuka) bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya, apa lagi dunia pendidikan – itu bagian dari latar belakang disiplin ilmu beliau. Saya teringat ketika beliau pernah menjabat Kandepdikbud (Kepala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) Kecamatan Simpang Hilir Kab. Ketapang waktu itu, beliau rajin turun ke sekolah-sekolah memberikan pembinaan, tanpa meminta imbalan dari sekolah apa lagi uang perjalanan dinas dari pemerintah. Karena pak Zaini adalah sosok yang disiplin dan tegas, tegas pula dalam memegang prinsip hidupnya. Perjuang, pengabdian dan prinsip pak Zaini banyak menginspirasi hidup saya, kebetulan beliau adalah guru/Pembina pramuka saya saat di SMPN Melano dulu.

Kita hari ini sangat miskin teladan, apa lagi keteladanan dari seorang pemimpin yang lahir dari carut marutnya sistem. Pada hal keteladanan dari seorang pemimpin itu penting, karena keteladanan melahirkan kewibawaan, kepatuhan, rasa malu, kedisiplinan, rendah hati dan amanah yang dapat mendorong orang lain melakukan hal yang sama. Namun sangat berbeda dengan kepemimpinan sekarang. Mereka lebih cenderung menampilkan diri mereka sebagai penguasa bukan seorang pemimpin yang melayani, mengayomi dan mementingan hajat hidup orang banyak. Tentu teladan yang tumbuh dari hati, bukan teladan karena polesan semata ingin dipuji.

6. Menumbuhkan dan Mempertahan Skulerisme
Adalah paham dan memadang agama tidak bisa dicampuradukan dalam urusan poltik. Betul, agama ya agama dan politik ya politik. Agama bukanlah politik dan politik bukanlah agama. Namun jika kita berpoltik dengan nilai-nilai agama, insya Allah tatanan kehidupan bangsa ini akan jauh lebih baik. Masalahnya kita lebih percaya pada hukum yang diproduk manusia ketimbang hukum Tuhan, pada hal Tuhan menurunkan hukum-Nya adalah untuk kepentingan kehidupan manusia itu sendiri. Anehnya lagi ada partai skuler yang mengatakan “Suara rakyat adalah suara Tuhan,” tapi mengapa mereka mengingkari hukum Tuhan dan memadang agama tidak boleh dimasukan dalam urusan politik? Suara rakyat suara Tuhan pun perlu kita garis bawahi, tentu suara rakyat yang memiliki dasar yang kuat berdasarkan dalil agama, peraturan dan norma sosial.

Suatu Negara yang memasukan hukum agama dalam hukum nasionalnya secara kaffah (utuh) maka Negara tersebut sangat minim persentase kejahatannya. Sebab siapa yang mencuri (korupsi) dipotong tangan/jari tangannya, berzinah dirajam, misalnya. Sebut saja Arab Saudi, salah satunya. Negara ini begitu konsisten dalam menerapkan hukum agama dalam tatanan hukum negaranya, sehingga persentase kejahatannya lebih jauh menurun dibanding Negara lain, sebab efek jeranya jelas karena orang akan takut mencuri/korupsi karena akan dipotong tangan/jari tangannya. Di negeri kita, koruptor malah hidup mewah dalam penjara, bahkan ada yang bebas berkeliaran tanpa tersentuh hukum.

Para pendakwah yang masuk dalam kancah politik/legislatif sepantasnya memberi warna bagi dunia politik dan bernegara di negeri ini, bukan terjebak dalam perangkap gurita KKN pula. Saya sepakat bahwa Dai itu harus masuk dalam semua lini kehidupan, bukan sekedar ceramah dari masjid ke masjid. Sebab ceramah dari masjid ke masjid orang gampang lupa, namun ceramah yang masuk dalam sistem dan tatanan kehidupan bernegara apa lagi produk hukumnya maka semua kita akan diikatnya. Tentu tidak cukup sekedar mengikat, harus lahir pula pemimpin dan penegak hukum yang jujur, adil, amanah, patuh hukum dan dapat dipercaya serta mencontohkan teladan baik buat kita.

Saya tidak menyalahkan pendapat yang mengatakan bahwa agama itu tidak bisa dicampur adukan dengan politik, apa lagi saya bukan pakar agama, soal agama pun saya masih awam. Yang namanya pendapat itu sah-sah saja. Saya hanya bisa mengatakan bahwa agama bukanlah politik, namun berpolitiklah dengan nilai-nilai agama dengan konsep dan penerapan nilai-nilai yang bisa diteladani, maka insya Allah kehidupan demokrasi kita akan lebih baik. Sebab Islam tidak hanya mengatur peribadatan, namun mengatur semua aspek dan nilai-nilai universal di semua lini kehidupan manusia, termasuk urusan berpolitik.

Jika kurikulum pendidikan kita benar-benar mendidik. Jika politik dan politikus kita memberikan pendidikan politik yang baik dan benar. Jika penegak hukum menegakan hukum tak pandang bulu. Jika birokrasi dan birokrat berjalan di atas sistem yang benar. Jika bangsa ini memiliki seorang pemimpin yang bisa diteladani. Dan jika bangsa ini tidak kisruh dan terus memperdebatankan soal politik dan agama, maka krisis multidemensi yang menimpa bangsa ini tidak akan berkepanjangan. Semoga gawai 2014 nanti melahirkan calon-calon pemimpin bangsa yang mumpuni, memiliki kriteria sebagaimana harapan kita semua, bukan calon pemimpin titipan dan warisan dari kegagalan pemimpin sebelumnya. Amin. Hsn. ( 25/10/2013)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama