FENOMENA PUSA’ DAN KEMPUNAN
Oleh: Hasanan
Bagi masyarakat Kayong (Ketapang dan Kayong Utara) kata Pusa’ bukanlah bahasa asing dalam keseharian warga yang dulunya satu kabupaten, satu perundohan/peduloran (keluarga/keturunan). Saban hari kata ini sering kita jumpai, benar kan sob? Yupz.
Sinomim dari Pusa’ ini yaitu Jamah, Calet/colet, Jawel dan Palet, yang kalau diindonesiakan berarti Menyentuh sesuatu. Pusa’ dalam arti Melayu sesungguhnya ialah menyentuh makanan/minuman yang ditawarkan oleh seseorang ketika kita sedang tidak ingin ikut makan/minum kerena sedang kenyang, buru-buru ingin pergi atau sedang berpantang makan/minum barang yang ditawarkan pada kita.
Secara etimologi (asal kata), saya menduga kata Pusa’ ini berasal dari kata “Pasak” yang berarti paku yang terbuat dari kayu/bambu/logam untuk menutupi lobang, yang dalam istilah Pusa’ – pasak bermakna menyentuh sesuatu untuk menutupi perbuatan yang tidak bisa kita lakukan secara langsung yang berkenaan dengan makan/minum. Perubahan kata ini tentu melalui proses yang panjang dari peradaban Melayu Kayong itu sendiri atau sebuah perumpamaan yang muncul secara kebetulan untuk memudahkan penyebutan saja pada sebuah peristiwa yang terjadi pada saat itu, dan bahasa ini abadi hingga sekarang. Yang pasti bahasa ini muncul dari seorang tokoh adat (dukun/tabib) yang memimpin adat kampung di suatu wilayah kerajaan pada masa itu. Ini hanya praduga saya semata, sebab saya bukan ahli sejarah dan bahasa apa lagi ilmu etimologinya. Hingga hari ini tidak ada yang tahu pasti asal-muasal pusa’ ini dari mana dan siapa yang pertama memulainya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata Pusa’ ditulis tanpa tanda petik 1 (‘) dibelakang katanya yaitu Pusa yang berarti Puso, Dorongan Hati, Momentum (istilah fisika) dan Keranjang dari daun lontar. Sedangkan kata Pusak menurut KBBI yaitu Harta Pusaka dan jika diartikan kedalam bahasa Melayu Kayong Pusak yaitu Acak/berentakan/tidak teratur.
Konon dari cerita rakyat yang sudah melegenda dikalangan masyarakat Kayong bahwa Pusa’ ini muncul pada masa Kerajaan Simpang. Sebab saya sering mendengar istilah dari tokoh-tokoh adat atau sesepuh Melayu mengatakan begini “Jangan main-main dengan Pusa’, ini adat Simpang, kalau ndak bepusa’ nanti bisa kempunan (mendapat bala’/kelaca/kutukan).” Ini hanya sebuah kesimpulan yang bisa saya petik dari pernyataan para sesepuh adat yang katanya kalimat ini sudah ada secara turun-temurun. Bahkan ada semacam mantra tentan Pusa’ ini sob. Kamu pernah mendengar ya sob? Gini bunyi mantranya, “Pusa’-pusa’ pali’,” yang bermakna bahwa kita mohon terhindar dari bala’ karena tidak sempat menyentuh makanan/minuman yang ditawarkan pada kita atau kita belum sempat membuat makanan/minuman yang kita inginkan. Kemudian ada juga yang menjilat tangan dan langsung ditempel ke keningnya sebagai simbol bahwa ia telah melakukan pusa’ atau secara tidak langsung ia telah mencicip makanan/minuman yang dimaksud. Hebat kan sob?
Terlepas benar atau tidaknya apa yang saya paparkan di atas, yang pasti kata Pusa’ merupakan kalimat ampuh yang memiliki pengaruh besar bagi masyarakat adat asli Kayong terutama etnis Melayu, bahkan pengaruhnya pun hingga kepada warga pendatang yang menetap di tanah Kayong hingga kini. Yang menjadi pertanyaan besar kita, benarkah Pusa’ akan menyebabkan seseorang akan Kempunan (terkena musibah/bala’/celaka) jika tidak kita lakukan? Maaf, tidak bermaksud mengecilkan atau mengurui para sesepuh kita, nurani saya mengatakan bahwa itu tidak benar. Tidak benar bahwa akan kempunan jika kita tidak pusa’.
Pernyataan tidak benar yang saya kemukakan di atas bukan tanpa alasan dan pembuktian. Pertama: ini saya bukti sendiri selama bertahun-tahun. Awalnya saya pun sempat meyakini bahwa Pusa’ merupakan kewajiban yang harus saya patuhi karena saya pun takut dengan kempunan. Namun belakangan saya menerungkan sebuah ungkapan yang disampaikan paman saya sendiri, katanya “Syaithan itu selalu mengintai kelemahan kita, jika kita meyakini bahwa apabila kita tidak pusa’ akan kempunan maka syaithan pun akan merestuinya,” contoh: ketika seseorang menawarkan minum air kopi tetapi kita menolak untuk minum dan tidak bepusa’ pula maka syaithan menyertai keyakinan kita akan kempunan tersebut, sehingga pada saat kita berpergian dari tempat tersebut kita digigit ular atau kecelakaan di jalan. Mengapa ini syaithan yang melakukannya? Agar manusia berpikir dan percaya bahwa yang menyebabkan ia celaka ialah kempunan akibat ia tidak bepusa’, jadi bukan karena ujian atau ketentuan Qada’ dan Qadar Allah atas hambanya. “Ia (syaithan) berkata, Ya Tuhanku, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan hal-hal di muka bumi terlihat baik bagi mereka (manusia) dan aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis diantara mereka.” (Q.S. Al-Hijr[15]: 39-40).
Kedua: bahwa saya telah membuktikan pernyataan saya ini dalam keseharian saya sejak saya tidak meyakini Pusa’ tersebut. Sering saya ditawarin keluarga atau sanak-famili makan/minum, baik di rumah sendiri maupun rumah keluarga. Namun karena perut saya sedang dalam kondisi kenyang maka saya menolak tawaran tersebut. Ketika sisuruh bepusa’ itu tidak saya lakukan. Ada diantara keluarga saya yang marah dan bilang bahwa saya sombong atau dengan istilah “Rejeki jangan ditolak, musuh/musibah jangan ditantang.” Pada hal saya sedang menguji keyakinan saya dan menunjukan kepada mereka bahwa tidak akan terjadi apa-apa jika saya tidak bepusa’. Dan itu terbukti dari pengalaman pribadi saya selama bertahun-tahun, tidak terjadi apa-apa. Karena saya meyakini bahwa takdir itu Tuhan yang menentukan, bukan sebab tidak bepusa’. Jika saya tidak bepusa’ lalu mendapat celaka itu hanya suatu kebetulan saja. Dan Alhamdulillah, secara kebetulan pun itu tidak terjadi. Ini mungkin karena Allah menyertai niat ikhlas saya karena-Nya.
Ketiga: bahwa Islam telah memberikan isyarat dan petunjuk kepada kita bahwa meyakini sesuatu bukan karena keyakinan kita kepada-Nya adalah dosa – perbuatan musyrik dan syirik karena kita telah menyekutukan Allah dengan sesuatu, dan syirik termasuk dosa besar. Ini kata pak ustadz/kiyai yang pernah saya dengar sih sob. Berikut ini aya hanya ingin mencontohkan dua kasus sebagai perumpamaan/pembanding saja.
Contoh kasus 1: seseorang yang sedang sakit dan sembuh ketika minum obat dari dokter atau sembuh setelah mendapat jampian dari dukun. Apakah dokter/dukun yang menyembuhkan orang tersebut dari penyakitnya? Tentu tidak bukan? Orang beriman akan bilang bahwa Allah yang menyembuhkan peyakitnya melalui perantaraan dokter/dukun. Tapi bagi orang yang sombong akan bilang bahwa kalau tidak karena dokter/dukun A maka penyakitku tidak akan sembuh. Tanpa seizing Allah, apapun tidak akan terjadi.
Contoh kasus 2: seseorang yang saat ditawarkan makan/minum tapi ia menolak karena alasan kenyang tanpa mau bepusa’, kemudian setelah itu ia bepergian lalu mendapat musibah kecelakaan di jalan raya misalnya. Apakah penyebab kecelakan tersebut akibat ia tidak bepusa’ atau itu karena ketentuan Allah atas dirinya? Jika kita mengatakan bahwa ia kempunan akibat tidak mau bepusa’ berarti pendapat kita sangat keliru dan tidak berdasar. Tapi jika kita mengatakan bahwa ini ketentuan Allah ada kemungkinan benar. Mengapa saya mengatakan ada kemungkinan benar? Sebab belum tentu setiap musibah yang terjadi pada manusia itu sepenuhnya ketentuan Allah, karena bisa jadi itu kelalaian manusia itu sendiri akibat tidak hati-hati atau ia sengaja menantang bahaya, kecuali orang yang sedang berjalan kaki ditabraknya dan meninggal itu dapat dikatakan takdir atas diri orang yang ditabraknya.
Mungkin anda akan mengatakan bahwa 2 contoh kasus di atas kontroversi, tidak nyambung, saya pun beranggapan demikian. Tapi benang merah yang ingin saya ambil dari 2 contoh kasus tersebut yaitu Hukum Sebab Akibatnya. Hukum sebab akibat pada kasus 1 di atas sangat jelas. Kesembuhan penyakit pada kasus 1 itu melalui pertolongan dokter/dukun sebab seijin/restu Allah., akibatnya penyakit yang diderita si pasien sembuh.
Sedangkan pada kasus 2 hukum sebab akibatnya tak jelas. Apa mungkin seseorang kecelakaan disebabkan karena tidak bepusa’? Kententuan Allah pun masih samar-samar pada kasus tersebut, karena bisa jadi ia ngebut pada saat kondisi orang sedang ramai di jalan raya, apa lagi ia berkendaraan dalam kondisi mabuk, itu artinya ia sengaja menantang bahaya. Bukan kerena ia tidak bepusa’ atau ini ketentuan Allah, namun sebab ia tidak hati-hati atau sedang mabuk, dan akibatnya terjadi kecelakaan dan menambrak orang lain. Kesimpulannya bahwa kecelakaan yang terjadi pada orang tersebut bukan akibat kempunan karena tidak bepusa’, tapi karena tidak hati-hati saja.
Yang Keempat: bahwa pusa’ hanyalah sebuah kebiasaan yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Kayong sejak beratus tahun yang lalu. Meyakini pusa’ sebagai kewajiban yang harus dilakukan berarti kita telah percaya pada sesuatu yang belum tentu keberannya dan tidak jelas dalilnya menurut Al- Qur’an dan Hadist, dan berarti kita telah meyakini sesuatu tanpa ilmu dan iman karena Allah. Yang menyedihkan hati lagi ketika orang tua menyantap sesuatu sementara anak-anak sedang tidur pulas atau masih bayi belum bisa makan makanan yang dimakan ortunya, maka si ortunya menjamahkan makanan tersebut ke mulut atau anggota tubuh anaknya. Yang saya khawatirkan ialah akan mengundang binatang yang suka dengan manisan/lemak mengerumuni/mengisap makanan yang ada di tubuh anak tersebut, seperti semut misalnya. Bisa bahaya juga sob?
Menyikapi hal ini, saya lebih cenderung menyimpulkan bahwa Pusa’ itu adalah istilah penolakan halus Melayu Kayong dalam menghormati tawaran makan/minum dari seseorang agar tidak terkesan sombong dan dianggap tak beretika. Artinya jika tak ingin makan /minum cukup menyentuh makanan/minuman tersebut saja sebagai tanda bahwa kita telah ikut mencicipi secara tidak langsung. Inilah bentuk kebersamaan dan sifat menghargai.
Pandangan saya Pusa’ hanya merupakan sebuah mitos yang mentradisi saja, bukan adat budaya sebagaimana yang kita dengar dari penuturan orang tua-tua kita. Dan saya secara pribadi sangat menghargai ini, sebab pesan moralnya dapat. Dalam menjalankan prinsip saya pun melihat kondisi orang dulu. Saya akan menolak tawaran Pusa’ apabila ia adalah keluarga atau orang terdekat saya, tentu sambil menjelaskan mengapa saya tidak mau bepusa’. Namun saya tidak bisa menolak tawaran pusa’ tersebut jika yang nawarkan adalah orang yang baru saya kenal atau saya tidak terlalu akrab dengannya. Niat saya hanya menghormatinya dan membuat ia agar tidak tersinggung dan mengatakan bahwa saya sombong, bukan karena meyakini bahkwa saya akan kempunan jika tidak bepusa’. Bagaimana dengan kamu sob?
Pendapat saya ini tidak bermaksud mengecilkan, mengurui atau menampik Pusa’ yang dianggap leluhur kita sebagai adat, tapi saya hanya ingin merubah pandangan kita semua bahwa tidak ada istilah kempunan/bahaya kalau tidak bepusa’ tersebut. Musibah atau kecelakaan yang menimpa kita itu bukanlah disebabkan kempunan, namun ada faktor lain yang menyebabkannya, bisa jadi kelalaian kita sendiri. Hanya sebuah kebetulan saja jika terjadi musibah/kecelakaan pada kita setelah kita lupa bepusa’, dan sekali lagi itu bukan faktor penyebabnya, hanya kebetulan saja. Kemudian untuk melestarikan ini sebagai adat atau nilai-nilai memiliki pesan moral, kita cukup meniatkan di hati bahwa kita bepusa’ bukan karena takut kempunan tapi untuk menghormati orang yang telah menawarkan kita makan/minum sehingga kebersamaan itu tetap terjaga. Terus hidari mengungkapan bahwa kalau tidak bepusa’ itu kempunan, sehingga insya Allah kita akan terhidar dari sifat musyrik/syirik kepada Allah.
Nah sob. Mudahan kamu sependapat dengan saya. Dan semoga ini bermanfaat buat kita, utamanya buat saya dan keluarga. Yang benar dari tulisan ini mungkin itu petunjuk Allah SWT dan yang salah itu hanyalah kebodohan saya sebagai manusia yang dhaif, kerena kebenaran itu mutlak milik dan dari Allah kan sob?. ( Hasanan 30 Oktober 2013)