PENDIDIKAN versus PENGAWAI
(Kuantitas tanpa Kualitas)
Artikel Drs. Adi Jogok (17/04/12) “POTRET UJIAN NASIONAL: Mengorbankan Kejujuran,” sungguh menyentak dunia pendidikan di tanah air. Potret ini mencerminkan potret yang sesungguhnya bahwa betapa naïf dan busuknya penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Mulai dari sistemnya, pelaksana sistemnya, pelaku sistemnya hingga ke penerima sistem bermain dalam sistem yang tidak memberikan pendidikan positif bagi dunia pendidikan. Layaknya rantai makanan, kecurangan tersebut menjadi warisan peradaban Indonesia yang tak pernah terputus, bak rantai makanan yang saling menopang satu dengan lainnya.
Kembali kepada topik yang perlu kita bahasa disini, “PENDIDIKAN versus PEGAWAI (Kuantitas tanpa Kualitas).” Hmmm…… Tulisan ini mungkin menarik dan layak untuk dibaca/disimak. Insya Allah ini akan menjadi pemebelajaran yang paling berharga buat kita semua, terutama bang UT sendiri.
Akhir-akhir ini kita dikejutkan hasil survey lembaga nonformal, lembaga survey tanpa kantor, yaitu Lembaga Survey Pendidikan (LSP) Kalimantan Barat tentang tujuan pendidikan pada siswa dam mahasiswa. Survey LSP tersebut dilakukan bagi pelajar pada jenjang pendidikan SLTA dan beberapa Universitas/Perguruan Tinggi (PT) yang ada di Kalimantan Barat dengan kategori 2500 audiens untuk SLTA dan 2500 audiens untuk Universitas/PT. Hasilnya, 73 % siswa SLTA memiliki cita2 menjadi PNS, 5 % wirausawan, 2 % terjun ke dunia politik, 0,1 % penyuluh agama dan sisanya tidak punya pilihan. Sedangkan di PT: 77 % ingin jadi PNS, 5 % wirausawan, 3 % terjun ke dunia politik, 1 % jadi guru penyuluh agama dan sisanya tidak memilih.
Artinya, jika disimpulkan bahwa orentasi pendidikan selama ini yaitu bertujuan agar dapat diterima bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), bukan bagaimana membentuk karakter yang hadal dan membuka lapangan pekerjaan baru sesuai dengan disiplin ilmunya. Kita tidak menampik jika PNS tersebut menjadi pilihan/cita2 kita, namun jagan jadikan itu sebagai patokan baku sehingga kita bisa mengorbankan/menghalalkan apa saja demi gelar PNS. Ternyata selama ini peran orang tua sangat besar terhadap cita2 anaknya agar bisa jadi PNS, sebab itu mereka bersusah payah menyesekolahkan/menguliahkan anaknya dengan biaya tak sedikit, bahkan setelah anaknya lulus kuliah, orang tua rela mengeluarkan uang puluhan/ratusan juta agar anaknya lulus dalam kompetisi CPNS yang digelar pemerintah. Di artikel bang UT sebelumnya tentang “Akper Pemda Ketapang” itu adalah gambaran yang menyentak hati kita, betapa tidak? Untuk masuk akper saja orang tua rela mengeluarkan uang tunai puluhan juta untuk menyumpal mulut pengawai akper agar anaknya diterima di akper, kemudian setelah lulus akper bisa diterima menjadi PNS di instansi tertentu. Sulit kita temukan seorang orang tua bercita-cita agar anaknya menjadi dai/ustadz/hafidz (hafal al-Qur’an), sebab profesi sperti ini dianggap aib dan tidak bergengsi. Pesantren saja dianggap sesuatu yang alergi dan tidak dapat memberikan garansi/kompensasi untuk masa depan anak-anak atau mereka sebagai orang tua.
Benar, Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalbar naik tahun 2012 ini. Hal tersebut dikatakan Wakil Gubernur Kalbar, Christiandy Sanjaya, katanya target Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalbar di tahun 2012 sebesar 70,22 persen atau naik dari tahun 2011 yang hanya sebesar 69,58 persen. Sebagaimana diketahui pada tahun 2011 Kalbar menduduki peringkat ke-28 dari 33 provinsi di Indonesia. Angka kenaikan IPM ini, kata Christiandy Sanjaya, merupakan angka yang realistis. “Angka ini realistis sesuai cara pandang birokrasi yang disesuaikan dengan penetapan target baru RPJMD 2008-2013,” katanya. Benarkah demikian? Mungkin angka itu benar, sebab sangat berbanding lurus dengan peluang untuk profesi sebagai PNS dan tenaga honorer di dinas/instansi di provinsi dan kabupaten yang ada di Kalbar. Tapi bagaimana dengan kualitas SDM-nya?
Ternyata SDM Kalbar masih jauh dari harapan. Angka kelulusan akademik saja sangat dipengauruhi tender kunci jawaban atau tender skripsi. Begitu banyak penyelia/penyedia jasa skripsi bertebaran di ibu kota provinsi ini, penjual jasa yang mengambil keuntungan dari kebodohan dan kemasalan para akademisi. Namun apa yang terjadi? Sang akademikus merasa bangga melepaskan baju almamaternya dan mendapat label akademiknya. Tapi tak jarang juga ketika mereka kembali ke habitatnya (masyarakat) mereka tak bisa berbuat apa-apa, tak ada disiplin ilmu yang dapat diwariskan, yang ada hanyalah merawirsankan kecurangan pada generasi berikutnya.
Tak heran, mencetak SDM itu hanya berorientasi pada peluang kerja menjadi PNS, bukan menciptakan lapangan pekerjaan baru, atau membentuk karakter anak menjadi karakter yang tangguh, bukan hanya berorentasi pada kesusksesan di dunia namun kesusksesan menuju akhirat yang lebih terpenting dari segala yang penting.
Tak ada niat untuk mengecilkan/mendiskriditkan seseorang, ini hanyalah renungan dan evaluasi untuk kita semua, termasuk penulis sendiri yang tak luput dari khilaf dan dosa. Andai saja kita mau berpikir dan berjiwa besar, mungkin kondisi negeri ini tidak akan terpuruk seperti hari ini. Kita akan selalu memperbaiki diri dengan bekerja keras, bekerja cerdas dan berkerja secara ikhlas. Kita tidak akan terbuai dalam angan-angan tanpa ikhtiar. Dan kita tidak akan membodohi diri kita dengan berpura-pura menjadi orang pintar, orang hebat, orang kaya, orang yang memiliki status sosial tinggi dan dermawan, sementara dada kita kosong dan hampa dari nilai-nilai keberan, kepala kita miskin dari karya-karya buah dari hasil kerja keras dan perjuangan kita.
Sudah menjadi tugas kita semua untuk merubah paradigma berpikir menuju generasi perubahan, generasi yang selalu menyulutkan api-api perjuangan, generasi tidak cengeng dengan keadaan, generasi yang cerdas dan pekerja keras, generasi yang selalu istiqamah dalam nilai-nilai kebenaran dan genarasi yang selalu mengabdikan dirinya untu kemaslahatan tanpa harus menunggu dan menunggu. Pendabdian itu tidak mesti harus menjadi orang terlebih dahulu. Pengabdian itu bukan harus menjadi pegawai. Tetapi pengabdian itu adalah perjuangan dan pengorbanan atas diri kita sendiri dan orang lain yang menjadi bagian dari kehidupan kita, apapun latar belakang dan status sosial kita. Karena orang yang paling baik ialah orang salalu memberi manfaat buat orang lain dimanapun ia berada, bukan orang-orang yang selalu membuat susah kaum-kaum yang susah.
Setiap kita tentu memiliki cita-cita, dan itu sah-sah saja. Kerena dengan cita-cita kita akan termotivasi untuk mewujudkannya, namun bukan dengan jalan pintas, atau dengan jalan bebas hambatan, tetapi berjalanlah di atas jalan yang diridhai Tuhan. Dan kita harus percaya bahwa sebesar apapun cita-cita yang kita miliki tanpa restu Tuhan kita tidak ada apa-apanya. Apapun profesi yang kita geluti selama tidak menyimpang itu adalah profesi mulia, tak mesti harus jadi pegawai negeri. Rubahlah cara berpikir kita bahwa pendidikan/berlajar/sekolah/kuliah itu bukan untuk mencari pekerjaan atau menjadi pegawai negeri, tetapi perjuangan kita untuk menuntut ilmu dari yang tidak tahu menjadi tahu, pengorbanan kita untuk menuju kesuksesan dunia dan akhirat. Tuhan tidak akan menelantarkan orang-orang yang berilmu dan Tuhan akan memuliakan orang-orang yang berilmu beberapa dejarat selama ilmu tersebut ilmu yang diridhai-Nya dan ilmu yang bermanfaat buat umat.
Ujang Tingang (edisi: 04-06-2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar